Kamis, 28 Juli 2011

RELIEF SUNGAI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Sungai-sungai yang mengukir batu, yang menembus jantung gunungku
adalah darah alamku
adalah jiwa hutanku
berkelak-kelok menyimpan goresan masa lalu

Sungai-sungai adalah lukisan rasa dan pikiran bumiku, yang timbul
dan tenggelam dalam hidup dan keseharian penghuninya

Gunungkidul, Nopember 1991.

SKETSA ALAM

Oleh : Margita Widiyatmaka

Air di mata penyair adalah kata-kata
bila ia mengalir menembus jantung gunung, itulah renungan suatu
cita-cita

Tanah di mata penyair adalah darah jiwa
bila ia mengalir ke dalam tubuh tumbuhan, itulah kebutuhan bagi
keberlangsungan kehidupan

Angin di mata penyair adalah angan-angan
bila ia bergerak mendekati langit jingga, itulah jarak antara
harapan dan kenyataan

Pelangi di mata penyair adalah busur hati
bila ia  berpanah putih melati, itulah gambaran suatu
citra abadi

Gunungkidul, Desember 1991.

KEKUATAN KITA

Oleh : Margita Widiyatmaka

sejarah telah ajarkan pada kita untuk memihak matahari, yang pi-
jari perubahan rona
belajar kita padanya agar tidak gampang menyerah pada kata dan
sorot mata sebelum alam semesta terbaca

pijar kita pijar matahari
bila kita ingkar janji, matahari bakar karunia Ilahi
bila kita belajar tepati, matahari jabarkan arti

Gunungkidul, Mei 1989.

MENJELANG AJALMU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Hijau daun layu ditiup angin lalu
bak hidupmu yang lesu, kehilangan darah biru

Kering embun pagi di batu yang gersang
bak hidupmu yang koma, menunggu datangnya titik hilang

Gunungkidul, Desember 1991.

TITIK-TITIK KEHIDUPAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Hati kecilku pelangi
dalam gigil yang sepi masih kuat bernyanyi
walau harus kehilangan cinta,  aku masih pelangi

Hati kecilku kenari
dalam gigil yang sepi masih kuat menari
walau harus bosan memandang langit hati, aku masih kenari

Hati kecilku matahari
dalam gigil yang sepi masih kuat bersinar
lewat kekuatan jari-jemari Ilahi

Gunungkidul, Nopember 1991.

Rabu, 27 Juli 2011

YANG RAWAN DAN PALING RAWAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

yang rawan itu perempuan
yang paling rawan itu perawan
duduk-duduk di depan pintu rumah
menyibak-nyibak rambut kepala tetangga sebelah

horeee!
kutu satu jadi kata batu
kutu dua jadi kata duga
kutu tiga jadi  kata tega

oh, tega!
perempuan atau perawan meremas-remas
kutu satu hingga tiga
yang rawan itu rambut perempuan
yang paling rawan itu rambut perawan
tunggu-tunggu kutu satu jadi kata saru
kutu dua jadi kata "duhai"
kutu tiga jadi kata iga

oh, lebih tega!
perempuan atau perawan  memeras
kutu kedua hingga keempat
empat-tiga-dua isyaratkan kata "impit--iga-dua"
ji-sam-su, "jinaklah-pisang-susu"

Yogyakarta, Mei 1988.

SENANDUNG GUNUNG MENYIBAK MENDUNG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Mari kita bicara dari hati ke hati sebelum menyesal kehilangan se-
suatu yang berarti
langit berpelangi isyaratnya, bumi berseri tempatnya
kita harus berbuat meninggikan martabat
saling mengerti tanpa dendam-kesumat

Mari kita bicara dari hati ke hati sebelum mengenal keadilan yang
sejati
langit tak pernah menjadi kanvas mati bagi lukisan persahabatan
kita yang abadi
bumi tak pernah ingkar saksi atas cinta kita yang saling menyelami
tanpa beban dan prasangka iri

Gunungkidul, Desember 1990.

LUKISAN DUNIA KOTA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Cuaca kehidupan kota membuat mata merah-darah
wajah resah, tangan pun lalu gerah dalam memperebutkan nafkah

Lihatlah dunia mereka!
mengejar gebyar secara liar
menangis-merintih, sukma terbakar

Di dalam bis kota
serba-serbi manusia berbaur
sisakan keringat, darah, debu, dan kotoran
anak-anak jalanan berlomba jajakan koran, majalah hiburan, dan
macam-macam jajanan
kerongkongan mereka kering, karena jeritan mereka yang terlalu
sering

Lihatlah dunia kota!
di jalan-jalan, dan bangunan-bangunan yang mereka susun,
kita menjadi gelandangan yang masih sempat tertegun

Yogyakarta, Pebruari 1991.

Selasa, 26 Juli 2011

RANCAK BAHAK

Oleh : Margita Widiyatmaka

Dikesunyian malam kuasyik membaca karya indah alam
Diketeduhan bulan bayanganku samar selinap di akar

Kecewa-rindu terobati sudah
Gelisah terkikis di wajah
Tertawa aku kehilangan marah
Tertawa oh aku tertawa, bukan gila!

Dikedamaian malam kuasyik bercanda dengan langit-bintang
Badan sakit sudah tidak terasa
bangkit aku dari mimpi panjang

Yogyakarta, Maret 1991.

SONG FOR "SANG DEWI"

Oleh : Margita Widiyatmaka

Guruku Sang Dewi, tempat aku belajar menganyam rindu
menjadi ramalan masa depan Tahun 2000 (dua ribu)

Guruku Sang Dewi, tempat aku berlayar mengejar bayang-bayang ma-
tahari, dan melukis buih menjadi nilai lebih

Guruku Sang Dewi, tema hidup dalam syukurku
Ia pahat dalam warna yang teramat putih, merasuk ke dalam
jiwa-ragaku yang letih

Guruku Sang Dewi, tempat aku membebaskan sepi dari kematian yang
tidak berarti

Guruku Sang Dewi, tema hidup sehari-hari yang membangkitkan gai-
rah bumi untuk bernyanyi dan atau menari

Gunungkidul, Juni 1991

SKETSA

Oleh : Margita Wiodiyatmaka

Aku lahir di atas batu, batu karang, batunya orang-orang terbuang
yang menyimpan dendam pada kemiskinan, dan mengendapkan malam pada
keyakinan bahwa suatu ketika aku akan ditelan oleh siluman laut
selatan, kalau tak segera benahi jalan pikiran

Gunungkidul, Juli 1991

Sabtu, 23 Juli 2011

SYARAT

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ke mana pun engkau pergi, bila engkau tidak mau dan mampu menger-
ti kerajaan hati
engkau akan terhempas diterpa rasa diri

Ke mana pun engkau pergi, bila engkau tidak mau dan mampu menger-
ti karunia langit dan bumi, laut dan matahari
engkau tidak akan berarti
engkau akan menjadi pemimpi, tidak bisa memimpin diri yang sejati
apapun yang engkau ingin, apapun yang engkau batin
hanyalah buih yang tak 'kan menjadi inti

Gunungkidul, Nopember 1990.

Jumat, 22 Juli 2011

SEPAKBOLA

***Diilhami oleh pertandingan Persegres vs. PSIM

Oleh : Margita Widiyatmaka


Bola disepak silih-semilih, diperebutkan dua kubu yang berselisih,
dan diatur jadi suguhan bernilai lebihi

Barangkali bola disepak tak 'kal jadi suguhan bernilai lebih, tat-
kala ada iblis memutar-mutar beberapa kepala penyepak, ada mata
duri, telinga panci, mulut batu, tangan cakar, kaki kayu, otak da-
du, jiwa gombal
keributan jadi suguhan
pengatur tak berdaya
baju hijau masuk arena
baju putih kitari mereka

Barangkali bola disepak tak 'kal jadi suguhan bernilai lebih, tat-
kala pengatur gagap terapkan aturan, bisa jadi mata diboboki, te-
linga diuntir, mulut disumbat, tangan dipatahkn, kaki dijegal,
kepala dijitak, muka dimemarkan

Barangkali bola disepak tak 'kal jadi suguhan bernilai lebih, tat-
kala kemenangan halalkan segala cara, permainan siratkan kebencian,
masing-masing kubu sama-sama liar

Bola-bola!,
jika disepak beneran, asyik 'kan?!
jika disepak pesanan, delik 'kan?!
jika bola itu "nggembos-ngeses", boleh jadi "s"-nya yang keluar i-
tu sportivitas, dan atau semangat
jika keluarnya serius, sebentar lagi bola tentu kempes dan tak pa-
tut disuguhkan

Yogyakarta, 10 Pebruari 1988.

MAKNA DOA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Berandai sungai mengalir di dalam gua dada
bila doa sungguh doa, ia bermuara ke lautan mata
menjadi kenikmatan dan karunia alam semesta

Berantai sutera menggerakkan roda dunia
bila doa sungguh doa, ia punya bara
memenuhi panggilan jiwanya, rajin berkarya

Gunungkidul, Nopember 1990.

PELITA HIDUPKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Di matamu ada cinta yang menyiratkan pesona
Di tanganmu ada karya yang membuat angkau kaya
Di hatimu ada luka yang sembuh karena doa
Di bumimu banyak pohon yang tumbuh karna upaya

Di mana-mana langit memberikan keteduhan, ketika engkau berjalan
di bawahnya
Di mana-mana bumi memberikan harapan, ketika engkau berjalan
di atasnya
Di langit telah tercipta pelangi
Di bumi telah tercipta simponi
Di mana-mana warna telah membangkitkanmu untuk mencari citra
diri

Yogyakarta, Nopember 1990.

HASTA MEGAMU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Banyak harapan dan keinginan luhur dalam hidupmu
kini menjadi bunga dalam tidurku
aku tahu dari matamu yang memancarkan cahaya biru
aku tahu dari tanganmu yang setia menjaga orang papa
tak pernah merasa ditekan langit, sekalipun gigimu masih sakit

Banyak harapan dan keinginan luhur dalam hidupmu
tak permah luntur dalam gegap-gempitanya seribu satu warna
aku tak tahu sampai kapan engkau harus bertahan, menyembunyikan
tanganmu di balik awan

Gunungkidul, Oktober 1990.

SERIBU RATAP SERIBU HARAP

Oleh : Margita Widiyatmaka

engkau dapat memulangkanku, bahkan memenjarakanku
tapi tak dapat memasung jiwaku
engkau dapat meludahiku, bahkan melukaiku
tapi tak dapat menghilangkan perasaanku

bukalah matamu dengan arah terhimpun!
bukalah mulutmu dengan suara apapun!
bukalah tanganmu dengan kelembutan embun!
sehingga diammu bisa aku sapa dengan senyum

Gunungkidul, September 1990.

IKHLASKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

aku relakan cintaku yang hangus menjadi arang
bukan gara-gara api  atau cara aku memandang, menjadikannya se-
perti sekarang
tetapi, memang aku tak bisa lari dari kenyataan

aku relakan kekasihku yang hilang bersatu dengan karang
bukan gara-gara laut atau cara aku meminang, menjadikannya se-
perti sekarang
tetapi, memang maut lebih perkasa daripada gelombang

aku relakan kekasihku menjadi kekasih Tuhan
yang hadir dalam malam-malamku
di langit ingatanku
di langit doaku
di langit impianku
di langit heningku
di langit perjuanganku
aku masih setia menunggu engkau menjadi cahaya biru

Gunungkidul, September 1990.

HASRAT

 Oleh : Margita Widiyatmaka

Aku ingin belajar dari gemuruh laut, muara kerinduan
tidak pernah disuruh, timbul dari kesadaran
tidak pernah menyuruh tanpa kebijaksanaan

Aku ingin belajar dari gemuruh laut, suara keteguhan
tidak mudah jatuh karena perasaan
tidak mudah mengeluh karena keadaan

Wahai, gemuruh laut!
temanilah aku--si anak malam, agar tak takut hadapi kelam
tidurkanlah aku--si anak karam, agar tak larut kedalam dendam

Yogyakarta, Agustus 1990.

MALAM SATU BINTANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bintang kecil itu menggigil, mencari sumber kekuatannya yang
paling adil
langitlah selimut hatinya
kalau sakit ia berkidung :
        "Mega-mega mendung berarak dari gunung
          teja-teja lengkung kitari alas kurung"
legalah ia menyuarakan pita hatinya
segala resah dan gelisah tumpah menjadi mata air di bawahnya

Gunungkidul, Agustus 1990.

BERTANYA (?)

Oleh : Margita Widiyatmaka

Mungkinkah kita merasakan getaran perubahan dunia dengan hanya
bertanya?
betapa naifnya kita, yang ada disekitar kita saja sering kita
jadikan berhala!
betapa tidak tahunya kita, terbelenggu dalam doa dan kata-katab

mungkin kita tahu
baru tahu sedikit, sudah merasa selangit
Itu salahnya
tak kita sadari sedari dulu
bertanya melulu, tak pernah bersahabat dengan suara dan warna
alam semesta melaju, tak pernah kita satukan mata kita agar
bisa melihat sesuatu, dan akhirnya tak pernah menggenggam
nikmat dan karunia-Nya!

Gunungkidul, Agustus 1990.

DUNIA DALAM SEJARAH

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ada berita dari desa Abu tentang pengorbanan seorang ibu
yang membangun pasar disaat lapar, yang memberi kabar kepada
dunia bahwa cintanya kepada matahari tak pernah pudar

Ia besarkan anak-anaknya dengan akar jiwanya yang tidak pernah
mengenal menyerah, menghunjam ke tanah berbatu batu bertanah
memberi harapan hidup lebih tegar dibawah matahari membakar

Ada berita dari desa Abu tentang perjuangan seorang ibu
yang mengganjal perutnya dengan batu
tak takut peluru nyasar, atau mesiu
tak takut langit terbakar kehilangan warna biru

Ada berita dari desa Abu
dimasa damai ia tetap ibu
perjuangan dan pengorbanannya tidak pernah berakhir dengan ikatan
istilah, atau ukiran nama indah
selama masih ada keringat dan darah, hidupnya senantiasa bergairah
menggenggam kekuatan alam-semesta untuk diwariskan kepada anak-
cucunya

Gunungkidul, Agustus 1990.

HUTANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

aku tak pernah main-main dalam berkata dan bermain-main apa saja
biarlah mulutku sudah tidak lagi menjadi mulutmu
biarla mataku sudah tak lagi menjadi matamu
biarlah hatiku sudah tak lagi menjadi hatimu
asal kamu sabar menunggu tanggal mainku, sebab tanganku akan ber-
kata jujur menurut kemauan dan kemampuanku, sebagaimana janjiku

Gunungkidul, Agustus 1990.

AKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Arjuli nama wayangku, adiknya Arjuna barangkali
tetapi hati-hati, jangan sampai salah ucap jadi " Arloji"
lahir pada akhir Juli, 27 (dua puluh tujuh) tahun yang lalu
di atas andong yang sedang melaju

Kata ibu dan ayah, Aku lahir dalam perjalanan menuju rumah sakit
oleh karena itu Aku diberi nama sejati  Margesit

Kata tetangga, ketika Aku balita sering sakit-sakitan
apalagi kalau suasana alam mega-mendung, semua sanak-keluarga dan
tetangga pasti mengerubung, membukakanku jalanku yang gelap tak ada
ujung
oleh karena itu aku mendapat bonus nama khusus atau panggilan po-
puler "Gandung"
barangkali saat itu Aku hidup setengah hidup, dan atau mati sete-
ngah mati (oleh karena itu jangan heran kalau banyak orang yang
menganggap Aku sekarang ini manusia "setengah-setengah"!)
ada yang menggosokku dengan minyak kayu putih, bawang merah, bal-
sem, atau obat apa saja yang membuat tubuh dinginku panas kembali
mereka pijiti semua bagian tubuhku yang kaku agar jadi lemas
ada yang menghangatkan Aku dengan tungku bara api
semuanya ingin agar aku masih tetap bisa menangis, tertawa, ber-
nyanyi, dan bermain seperti anak-anak lain

Kini, Aku masih tetap bernama Margesit
nama itu tercantum secara formal dalam KTP, ijazah-ijazah, piagam-
piagam penghargaan, serta dalam forum-forum formal seperti semi-
nar, sarasehan, pentaran P4, pendidikan dan latihan
Sedangkan di kampung, nama pasaranku masih tetap "Gandung"!

Gunungkidul, Juli 1989.

Kamis, 21 Juli 2011

DUNIA YANG KITA DAMBA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Dunia harap dunia yang kita garap
dunia garap dunia yang kita harap
dunia cinta dunia yang kita cipta
dunia cipta dunia yang kita cinta
dunia damai dunia kita yang ramai
dunia ramai dunia kita yang damai
dunia kuat dunia kita yang sehat
dunia sehat dunia kita yang kuat
dunia terang dunia yang kita karang
dunia terang dunia yang kita kalang
dunia terang dunia yang kita tembang

Yogyakarta, Juli 1990.

DOA MENJELANG TIDUR

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bantal, bantal!
bantulah aku untuk mengerti kabar, karena telingaku tak lagi da-
pat dipercaya untuk mendengar

Kasur, kasur!
aku butuh kamu untuk meletakkan darah-daging-tulangku yang babak-
belur

Bantal, dan kasur!
ingin aku bermimpi tentang kenyataan yang akan terjadi di pagi
hari, melalui kekuatan yang kamu simpan dari angin dan matahari

Yogyakarta, Juli 1990.

KESEMPATAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Mari, kita saling membuka tangan!
Mari, kita saling membuka mata!
Mari, kita selalu setia menjaga hari-hari kita yang bernyanyi,
tak usah tergesa mati karena terlambat menyuarakan hati!
mumpung langit masih berjarak dengan bumi
mumpung kita belum terkepung oleh mimpi-mimpi

Kalau kita tulus bernyanyi, menyuarakan cinta kepada bumi
langit pun akan bersenang hati dan ikut bernyanyi
hilanglah kecamuk rasa iri, segala puja-puji menjadi keindahan
yang abadi

Yogyakarta, Juli 1990.

AKU INGIN, AKU ANGIN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Aku ingin mencipta lagu angin
sekalipun cerita rasa kecewa, tetapi senantiasa ceria -- cara ung-
kap muka
sekalipun cerita masa lalu, 'ku tetap ingin mencipta lagu angin
sekalipun cerita rasa pilu, 'ku tetap ingin mencipta lagu angin
sekalipun dalam keadaan panas-dingin, 'ku tetap ingin mencipta
lagu angin

Aku ingin mencipta lagu angin
untuk mengipasi kegerahanku pada iklim
Aku ingin mencipta lagu angin
terbang mengangkasa, membebaskan jiwa yang terhimpit di ketiak
raksasa bukit

Aku ingin lagu angin
aku ingin, aku angin!

Yogyakarta, Juli 1990.

SUARA MALAM

Oleh : Margita Widiyatmaka

Diam-diam kaupanggil namaku
panja .................... ng sekali!
Malam-malam kaubangunkan aku lewat alunan lagu syukur
syahdu ......................................................................... sekali!

Diam-diam aku menggigil
dingi ....................... n sekali!
sungguhpun ingin aku mendekapmu, tetapi batas tak membolehkan
aku tahu wujudmu
Malam-malam kaubukakan pintu kamarku
leba ......................... r sekali!
aku termangu untuk bangkit dari tidurku
meskipun taman bunga telah kaugelar untukku, tetapi tidak mudah
bagiku untuk membelah jiwaku

Yogyakarta, 31 Juli 1990.

RATAP

Oleh : Margita Widiyatmaka

aku tak tahu, apakah ia masih menyimpan rinduku dalam lautnya
yang baru?
aku tak tahu, apakah ia paham bahasa kesetiaanku dalam karangnya
yang beku?

AH ... !
seandainya ia masih, seandainya ia paham
sudah membatu sekalipun, aku siap mencairkannya dengan api-jiwaku

Gunungkidul, Juli 1990.

PERMINTAAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Jangan kaubuat aku tergantung di langit
tak dapat untung, hati menjerit
Jangan kaubuat aku tenggelam di laut
tak dapat nikmat alam, diri pun larut

Jangan kaubuat aku terbang ke alam mimpi
tak dapat peluang membayar janji
Jangan kaubuat aku jatuh ke dalam istana peri
tak dapat bersetubuh dengan kehidupan sejati

Hanya bilang "Jangan", maksudku tidak mentang-mentang
menjadi anak jaman sekarang maunya main larang atau bicara sembarang
tanpa pertimbangan yang matang

Yogyakarta, Juli 1990.

Rabu, 20 Juli 2011

SARMINI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Sarmini, gadis produk dalam negri
aku suka kau cerah ceria muka
Sarmini, hidungmu tak mancung tak mengapa
tapi matamu membuatku terpana

Terpana, terpanah asmara
terlambat kumenyatakan cinta
kutahu kini engkau telah menjadi guling dalam tidurku

Sarmini, aku tak 'kan iri dan ganggu atas kebahagiaan keluarga-
mu
kecerahan sorot matamu cukup aku nikmati dalam lagu

Gunungkidul, Juni 1990.

SUARA BIARA HATIKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Aku bicara soal "proses", bukan "protes"
seperti cara matahari menerangi bumi, tak pernah bermaksud memba-
kar kulit dan hati; tetapi kitalah yang harus mengerti dan paham
bahasa alam ini

Baraku bukan barang baru
sudah lama merah dalam arang-tubuhku
Merahku bukan merah sembarang merah
sudah lama bercampur biru laut-langit, lukisan Hyang Mahaguru

Aku bicara soal "akar", bukan "makar"
seperti cara pagi membangunkan mimpi
talk pernah bermaksud mencari kambing hitam, tetapi senantiasa
setia pada hukum asal-muasal kejadian

Aku sungguh-sungguh bicara, bukan bersandiwara!
sudah aku sediakan arang-tubuhku dan api-jiwaku sebagai sumber
kekuatan pembaharuan, serta perbaikan bagi dunia yang tengah ber-
ubah

Gunungkidul, Juni 1990.

TEGAKAH?

Oleh : Margita Widiyatmaka

Mereka yang merampok buah hatiku, akankah kapok menyakitiku?,
menggorok-gorok leher jiwaku dengan gergaji kata
Mereka yang menyangsikan kesetiaanku pada bumi dan segara Nusan-
tara, masihkah curiga dan memojokkan kata hatiku?
menohok jidat kepalaku hingga tak mampu berpola pikir maju

Ah, andaikan mereka tahu dan mau mengerti keyakinanku, keingin-
an dan cita-citaku, serta kekuatanku!,
tentu tidak akan memandang dunia selebar pantatku

Yogyakarta, Juni 1990.

PEMANDANGAN PAGI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bulan bersandar di daun jati
semakin samar, etrbangun dari mimpi

Bulan samar tak ada lagi kawan bernyanyi
burung-burung telah lama pergi
menunju tempatnya yang suci

Bulan sudah tak tampak
meninggalkan pagi dengan muka retak

Gunungkidul, Juni 1990.

BULAN RINDU DI MATAKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bulan rindu, merah biru tepinya
bahkan tahu bara hasrat di dada
diam-diam ia menyertaiku berdoa
menambah malam lebih bercahaya

Bulan rindu, bintang-bintang kawannya
bahkan tahu cara membuat bahagia
diam-diam ia mengajakku bercanda
menyediakan tangga menuju tempat berbagi duka

Bulan rindu bahkan mau jadi kekasihku
Bulan rindu bahkan mau menghantarkan tidurku

Gunungkidul, Juni 1990.

ALTERNATIF

Oleh : Margita Widiyatmaka


Kubaca puisi birumu di sebuah harian
memanggil-manggil namaku dengan nama samaran
Kuraba denyut jantungku
ternyata aku masih betah menelan ludah sendiri
berlaku pasrah, tahan uji
tidak gegabah men-Tuhankan rindu

Akhirnya aku susri tepi nurani
hingga aku terhindar dari cengkeraman mimpi

Gunungkidul, Juni 1990.

SAJAK ANAK-ANAK RAJAWALI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Anak-anak yang engkau layakkan hidup dalam hawa terali
akan memberontak suatu saat nanti, kalau tidak mati ditelan ke-
sedihan mereka sendiri
Mereka akan bosan hidup, kalau tak kauberi kesempatan mendapat-
kan kebebasan
sekalipun engkau telah berikan perhiasan intan-berlian, pakaian
sutera alam, dan makanan untuk bertahan badan

Anak-anak yang engkau layakkan sebagai turunan Rajawali
janga n larang mereka mencari letak busur pelangi
karena itu kehendak mereka yang paling asali

Gunungkidul, Juni 1990.

MANTAP

Oleh : Margita Widiyatmaka

Hidup yang kupilih dalam akar-benih tak pernah beralih
belajar menanamkan kasih pada jiwa yang merintih

Hidup yang kurintis dalam kesejukan Edelweis kini terlukis menja-
di garis, garis gelombang mengarah ke satu titik pandang

Yogyakarta, Juni 1990.

MARGARETTA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Deritanya panjang, sepanjang jalan perjuangan
bila suatu saat nanti ia mati, ia akan teguhkan satu kata kenang-
an "menjadi"
bila suatu saat nanti ia mati, ia akan teguhkan satu kata keme-
nangan "melayani"

Deritanya panjang mengukir jiwa-raganya yang lembut dan kasar
bila suatu saat nanti ia mati, ia akan terbang mencari cintanya
yang hilang di laut

Ia sadari perbuatannya di luar kebiasaan, suntuk memberi bingkai
sutera pada lukisan alam

Gunungkidul, Juni 1990.

PRAHARA II

Oleh : Margita Widiyatmaka

Karena kau tetap menggenggam batu, lebih baik aku menjadi malam
dalam siangmu, dan siang dalam malammu
daripada kita sama-sama hancur ditelan rasa jemu

Gunungkidul, Juni 1990.

ANTARA BUMI DAN LANGIT

Oleh : Margita Widiyatmaka

Mereka yang tumbuh tegak-lurus di lingkungan kumuh
seharusnya kita bimbing terus untuk tetap kukuh
bertumpu pada bumi untuk menyentakkan kesungguhan langkah
bersumbu pada langit untuk membirukan bara merah sampah

Mereka yang tumbuh tegak-lurus di lingkungan kumuh
seharusnya kita biarkan bernyanyi untuk sekedar meringankan beban
pada pundak mereka

Mereka, saudara kita yang kehabisan suara, karena berteriak-
teriak di merahnya lampu kota
Mereka, saudara kita yang merindukan langit turun ke bumi
jangan biarkan mereka sakit, karena mimpi-mimpi!

Gunungkidul, Juni 1990.

TERAPI II

Oleh : Margita Widiyatmaka

Busur hati, panahnya putih melati,
merahnya darah pertiwi
mengutus cahaya ke bumi
dengan sat tarikan nafas terkendali

Lahar Merapi, hangatnya membuih di kaki
membuat kita lebih hati-hati untuk melangkah lebih jauh lagi

Yogyakarta, Juni 1990.

KARANGAN BUNGA UNTUK ISA (Inalas Sunu Aditeguh)

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bau kemenyan, sekar malam
menyelinap lewat kamarku yang temaram
Sawah-ladang, gelora juang
hampir padam ditelan kelam

Tiada terkira
tiada terduga
sedang kuterdiam, Kaupanggil Isa

Isa, seorang calon sarjana
anak manis, tampan, bersahaja
harapan ayahbunda, bangsa, dan negara

Isa, aku rindu lukisanmu yang engkau coretkan di sampul buku pe-
lajaranku di SMA dulu

Yogyakarta, Juni 1990.

ALAM SURGAWI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Sepasang merpati seraga sehati
segara mereka adonan buah cinta
terpancar dari mata mereka pesona abadi yang lebih dari kata, a-
tau sekedar janji

Segalanya telah menjadi kenyataan
yang semula mereka pandang semata pelangi, ternyata pelita pikir-
an dan hati
yang semula mereka pandang semata padang pasir tak berkurma, ter-
nyata keluasan wawasan cita

Hu ... ria-ria   ......   Hu ... ria !
Hu ... ria-ria   ......   Hu ... ria !

Sepasang merpati terbang jauh tinggi menuju ke angkasa puri
hidup dalam kebebasan suci
di sana ada taman Ilahi yang sudah lama mereka rindukan dalam
mimpi

Yogyakarta, Mei 1990.

DERIT-DERIT TANDA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Kalau ada nyanyian rindu yang terbangun dari tidur panjang
itulah Gita
yang lautan embun di saat duka, dan yang mengalun dalam irama
" ta - ta - ta ... wa - wa - wa "

Kalau ada jeritan jendela yang membimbingmu untuk membuka pintu
rumahmu
itulah Gita
yang langit pun akan bergerak ikuti gesekan hati nuraninya

Suara Gita, nyanyian cinta
sadarkan sang pendendam dalam sejarahnya yang terpendam

Gunungkidul, Mei 1990.

TEMBANG REMBANG PETANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Matamu mata indah dan menyala
katamu kata nuansa ilham
rindumu rindu ada di karang
lautmu laut ada di seberang
sekalipun jauh dari pandang, tetapi selalu aku temukan kau di da-
lam tembang

Gunungkidul, Mei 1990.

PROSES PENCERAHAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Emas, sedang aku kemas dari sebuah harapan yang menjulang ke atas
kalau toh jatuh, aku sudah siap bangkit kembali
kalau toh remuk, aku sudah siap jadi rabuk tanah

Emas, hasil perjuangan yang ikhlas
bila aku setring berpikir-tengadah dan berdzikir-melihatbawah
segala cairan yang deras mengalir dalam tubuhku ke jari-jemari
tanganku, Insya Allah akan menjadi "Emas"

Gunungkidul, Mei 1990.

MA'RIFAT

Oleh : Margita Widiyatmaka

Jalan siangku panjang dan berliku
malam istirahku luruh dalam angan bisu
bersih ragaku, juga pikiranku
perasaan ragu tersaput angin lalu
Jalanku jalan Engkau
Engkau adalah darah siang dan malamku, sumber kekuatanku, yang
tak pernah beku mengalirkan rindu

Yogyakarta, Mei 1990.

BERSAMA TUHAN DI TEPI KOLAM

Oleh : Margita Widiyatmaka

Tuhan, kekasihku yang paling malam!
Engkau berikan aku mata jeli ketika tiba-tiba aku lihat ikan emas
mungil sedang berjingkrak menari-nari

Tuhan kekasihku yang paling dalam!
Engkau berikan aku kebenaran yang mutlak, sehingga aku wajib me-
nolak kepada saudara yang bukan saudara, sahabat yang bukan saha-
bat, orangtua yang bukan orangtua, guru yang bukan guru, dan ke-
pala yang bukan kepala
atas setiap kehendak mereka yang hendak merusak

Tuhan, kekasihku yang paling alami!
Engkau bukakan pintu rahasia dunia tahun ini ketika aku dengar
ringkik kuda-Mu isyaratkan perubahan dan dukacita atas kematian
para syuhada

Gunungkidul, Mei 1990.

GITAWATI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Pada gitar rinduku berakar
kunanti-nanti dengan sabar
menjadi lagu selangit biru

Pada gitar langitku berkabar
kusampaikan pada bumi
menjadi peringatan insani

Pada gitar rinduku rindu laut langitku langit laut
menanti-nanti camar beribu
menyambut laju perahu layarku

Gunungkidul, Mei 1990.

MATANIA MATAVIA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Lihat, lihat, lihat itu nia!,
ada di belakang pantat beruang merah,
menggeliat menampakkan rupa

Lewat, lewat, lewat itu via!
berhasrat sama juga,
berbaris mengikuti nia, sembari bernyanyi :
             "Duniah ...., oh, duniah ...,
              dukunglah aku untuk membuka
              pintu dan jendela rumahku,
              membebaskan diri dari ancaman tirani!"

Lihat, lihat, lihat itu wajah beruang merah!,
yang merah-hitam lebih kalam dari pantatnya,
yang gelisah takut kehilangan beruang-beruang kecilnya

Hadapi, hadapi, hadapi saja Gorby---si joki beruang merah!,
yang di tangan kanannya segelas anggur merah, dan di tangan
kirinya siap cemeti dan palu besi
itu peranda engkau harus cermat dan hati-hati
dalam setiap kompromi yang bakal terjadi

Lihat, lihat, lihat sajalah nanti polah Gorby
sebagai aktor panggung dunia masa kini!

Wonosari, April 1990.

RENUNGAN NUN JAUH DARI MEGA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Tahukah engkau orang yang paling menderita?
ialah orang kesepian, lapar kasih sayang, diam membeku tanpa sa-
paan

Orang kesepian tidak butuh basa-basi, puja-puji, dan belas-kasih-
an
yang ia butuhkan kehangatan
yang ia cari dari hari ke hari adalah pembebasan dari kesendiri-
an yang membosankan
ia juga butuh sengatan bara api, agar lautan darah tetap mengalir
ke tangan, taklukkan malam yang akan tenggelam dalam pelukan se-
tan

Alangkah nerakanya,
bila orang bisa saling memberi salam, tetapi lupa selam

Alangkah surganya,
bila orang bisa mengerti jalan pikiran dan perasaan sendiri tanpa
segan-segan mengisi pada yang sepi

Alangkah terbuka nya,
bila orang bisa saling membuka tangan, lalu :
         memberi manfaat dalam setiap bentuk kesepian yang menekan
         memberi kejujuran dalam setiap bentuk kesadaran yang maha-
takterpejam 

DOA MENJELANG LEBARAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ya, Tuhan!
kalau Engkau berkenan memaafkan, akan kuketuk kepengecutanku ke-
tika mabuk meninggalkan rumah-Mu

Ya, Tuhan!
kalau Engkau berkenan menerima, akan kuketuk rumah-Mu sebelum a-
ku tercatat dalam buku tamu-Mu

Ya, Tuhan!ma-Mu;
kapan aku bisa menemui-Mu di Taman Surga-Mu?
barangkali saat nanti aku bersama-sama saudara-saudraku agung-
kan asma-Mu; Allahuakbar, Allahuakbbarwalillailham!

Yogyakarta, April 1990.

YANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Yang namanya yang bila dibuat cerita bisa menjadi panjang
yang mana, yang siapa, yang mengapa, yang bagaimana, yang menya-
pa
aku pun terjebak dalam kata "yang"

Yang aku sayang namanya yang
yang aku rindukan yang
yang aku lagukan yang
yang aku ragukan juga bernama yang
langit pun aku yang, tak ada yang melarang

Yang seneng yang-yangan bebas bilang "yang"
yang terbayang-bayang terekam dalam ingatanku sayang kalau di-
buang

Yogyakarta, April 1990.

SANG PEMULA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ia yang teguh di tengah  badai kehidupan
tidak senang mengeluh mengatasi keruwetan
Ia yang penuh dengan cacian
tidak sedang berangan mencari pembelaan

Yang ia alami cuma biasa saja
Yang ia dalami bermula dari tanya,
"Ada apa dalam diriku?,
 ada apa di luar diriku?,
 ada apa?,
 ada apa?,
 ada apa?!"
 semuanya ada dalam darahnya

Ia yang teguh di tengah hutan kemelaratan
tidak senang mengeluh meninggalkan kemapanan
Ia yang penuh dengan kekuatan hati dan pikiran
tidak sedang berangan mencari kemenangan
Yang ia cari cuma pengalaman
Yang ia sadari bermula dari kenyataan

Ia yang teguh dengan pendiriannya
tidak senang mengeluh atas kesendiriannya
Ia yang berjalan penuh dengan harapan dan keyakinan
tidak sedang berangan ingin menjadi sang begawan

Ia  yang teguh
Ia yang teduh
terpaksa mengaduh, tak tahan melihat masa lalunya yang rapuh
Ialah Ganesha Bandung, yang lahir di bawah mega mendung, udara
puncak gunung

Yogyakarta, Maret 1990.

HAN YANG SIP

Oleh : Margita Widiyatmaka

Itu Han yang mahamurah lagi mahaasih
bila beliau murka, masih menyimpan kasih
Itu Han yang mahabisa lagi mahalebih
bila beliau berikan kuasa, tak pernah memilih

Itu Han di langit keteduhan
Itu Han diapit ayahbunda
Itu Han bangkit dari makam
Itu Han di langit kehidupan
Itu Han di laut terpendam
Itu Han menyimpan rahasia alam
Itu Han yang berjalan-jalan di atas bara api
Itu Han yang berparas tampan dan berpakaian rapi
Itu Han yang meniup bara api merah menjadi biru api suci

Itulah Hansip, Tuhan Si Pencipta
Tuti ada diciptakan Han
Budi ada diciptakan Han
nah, seluruh isi langit-bumi itulah bahan yang membuat kita
ada, dan untuk menciptakan kembali yang lebih ada sesuai ke-
hendak Han

Yogyakarta, Maret 1990.

CERMIN PECAH

Oleh : Margita Widiyatmaka

Aku memang salah
memandang pohon dan langit indah cuma tengadah
lupa akar yang menghunjam ke tanah

Aku memang kalah
kesetiaanku yang luruh pada segara dilemparkan alun ke tepi, ke
pandan berduri, yang menjadikan aku luka sampai hari ini

Memang aku sekolah
bukuku tebal selangit kuhapal
pikiranku bebal sempit akal
mataku merah sakit darah
kejengkelanku, buah ketidakberdayaan dalam kebudayaan

Memang aku ngeri dikubur dalam tanah kapur
di luar, subur kabar-kubur bahwa "Akulah Pengkhianat Negeri"
yang memberaki Beringin yang rindang dan kukuh

Aku memang bocah, yang masih gampang terjajah oleh keuasaan kata
namun, aku terus melangkah, menguatkan kaki dan tangan,
membesarkan hati dan daya tahan pikiran

Yogyakarta, Maret 1990.

CITRA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Setelah kupikir-pikir di desa Mamah tak ada lagi wadah yang bisa
memandu jalannya darah, rasa-rasanya aku harus pergi jauh
merengkuh batas cakrawala yang paling teduh
agar aku dapat bersimpuh, mengenal sejarah sendiri selama tempuh
 
Setelah kupikir-pikirdi atas gunungku mega tetap keruh
rasa-rasanya aku 'kan jatuh, kalau tak segera berlari mengejar
bayangan sendiri yang sungguh

Yogyakarta, Maret 1990.

Selasa, 19 Juli 2011

MISTERI

Oleh  : Margita Widiyatmaka

Selalu saja kau bersembunyi
di belakang topeng ada maksud hati
jangan ingkari!
jangan berlari!
untuk membela sang diri

Selalu saja kau berdusta
di sorot mata sudah kemerasa
untuk bicara
untuk tertawa
untuk menghibur derita

Masa lalumu, masa pahitmu
masih terbawa di alam nyatamu
aku pun tahu, dari caramu
yang sering menyendiri, kalau laut tak bernyanyi

Di balik kacamata yang hitam
terselip bekas luka yang dalam
mari lupakan, dengan bernyanyi!
untuk menghias kehidupan

Yogyakarta, Maret 1990.

MOMENTUM II

Oleh : Margita Widiyatmaka

mulai detik ini pola lamaku dalam berpikir harus berakhir
menerima diri tanpa mencibir, dan menimbanya agar air cinta se-
nantiasa mengalir
sebab inilah sumber kebijaksanaan
untuk tidak mudah tergelincir pada manisnya keadaan

mulai detik ini pola lamaku dalam berolah rasa harus berakhir
memberi salam pada lingkungan tanpa prasangka, lalu menyelaminya
sebab inilah sumber kejujuran
untuk membangun kesadaran

mulai detik ini pola lamaku dalam bermasyarakat harus berakhir
mental baja lunakkan duri; dan disinari matahari, tak manjakan
diri
sebab inilah sumber kekuatan yang alami
untuk tidak mudah percaya dengan basa-basi

Yogyakarta, Pebruari 1990.

PETUAH JODOH

Oleh : Margita Widiyatmaka

Cobalah engkau tanamkan cinta
tidak mengigau inginkan intan
dan silau menatap kemewahan

Cobalah engkau hati-hati memilih
yang memukau nampak lebih belum tentu tahan simpan kasih

Yogyakarta, Pebruari 1990.

FALSAFAH SAPTAHURIP

Oleh : Margita Widiyatmaka

0 --- 7 tahun, Kemungkinan Hidup
7 --- 17 tahun, Harapan Hidup
17 --- 27 tahun, Kemauan Hidup
27 --- 37 tahun, Kemampuan Hidup
37 --- 47 tahun, Pegangan Hidup
47 --- 57 tahun, Pandangan Hidup
57 tahun ke atas, Sisa Hidup

Yogyakarta, Februari 1990.

KEWAJARANKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

di dalam masyarakat aku tak mungkin berp[eran sebagai malaikat
yang paling mungkin cuma terus-menerus melihat, lebih dari yang
terlihat;
mengingat, lebih dari yang teringat
dan akhirnya membujat, lebih dari yang sudah terbuat

Yogyakarta, Pebruari  1990.

PENGAKUAN TIGA WAJAH

Oleh : Margita Widiyatmaka

di depan cermin aku siap menjadi tiga berhala
diuji dan dicoba
dipuji dan dipuja

yang pertama bermuka kotak
yang kedua bermuka bulat
yang ketiga bermuka segitiga
dimasukkan dalam kotak-kotak suara
untuk menjadi p[eringatan dan tatacara

Yogyakarta, Pebruari 1990.

CC

Oleh : Margita Widiyatmaka

ada angin baru yang dingin dan bisu
segarkan hidup dan mimpi-mimpiku

ada tangis baru yang padu dengan rasa gembira
tegarkan aku kembara

Ia yang mengajak bersahabat dengan berikan tongkatnya, tapi maku
cuma sanggup memandangnya

ILUSI

Oleh : Margita Widiyatmaka

dari mana kita harus memulai?, membentuk citra diri dari kesemuan
pandai -- bukan sekedar cerita di laut ada Putri Ayu melantai --
yang membuat kita berandai-andai tak sampai-sampai

dari manabu kita harus memulai?, membentuk citra diri dsari kesemuan
kaya -- bukan skedar cerita di atas langit lapis tujuh ada sur-
ga -- yang membuat kita kehilangan fungsi dan  dan peran di bumi

Yogyakarta, Januari 1990.

KASIHAN SI AMAT

Oleh : Margita Widiyatmaka

sebagai orang "cacat" di titik nol ia slalu dilihat
nanti-nanti dulu untuk mencuat, meski karyanya patut mendapat
predikat terhormat

telah diturunkan ayat yang meniadakan Amat di luar para "Penga-
mat" (?)
sehingga tidak dibuka kesempatan kepadanya untuk mengisyaratkan
bumi ini akan menggeliat

Gunungkidul, Januari 1990.

MOMENTUM I

Oleh : Margita Widiyatmaka

sudah sampai "titik pirsa"
berpikir dan berolahrasa tentang dunia, apa adanya!
lahir tanpa basa-basi
hidup tanpa tutup mata
mati meraup karta

Yogyakarta, Januari 1990.

PERSEPSI II

Oleh : Margita Widiyatmaka

Melihat randu alas
pikiranku terpandu ke alam bebas
Batangnya yang lurus menjulang ke atas
mengingatkan aku pada yang tak terbatas
Kembangnya yang sedang mekar
memberikan padaku pandangan yang lebih segar
Durinya yang tajam dan mengerikan
mengingatkan aku pada kuburan

Yogyakarta, Januari 1990.

SEPI

Oleh : Margita Widiyatmaka

tak ada mami tak ada papi
tak ada sapa tak ada sapi

yang ada hanya kesadaran tak bertepi
meragukan kemungkinan  yang tak pasti

tak ada telaga tak ada perigi
tak ada iga tak ada peridi
tak ada mega tak ada warna
tak ada marga tak ada maka
tak ada tidak  tak ada tetapi
tak ada bidak tak ada menteri
tak ada apa-apa itulah ia!

Yogyakarta, 1989.

PERCUMA

Oleh : Margita Widiyatmaka

apalah artinya sepi?,
di garisnya mengalir angin sepoi
                                                     tak diraspi

apalah artinya sepi?,
di garisnya mengalir angin sapa
                                                    tak disahuti

apalah artinya sepi?,
di garisnya mengalir angin seni
                                                   tak dirasai

apalah artinya sepi?,
di garisnya mengalir angon nalar
                                                      tak dimengerti

apalah artinya sepi?,
di garisnya mengalir angin asa
                                                  tak disiasati

Yogyakarta, 1989.

SAKIT

Oleh : Margita Widiyatmaka

akan kencing, keluar tahi
akan berak, keluar air seni
akan teriak, keluar riak

udara panas, malah dingin
angin masuk, tambah dingin
ingin masuk sekolah, kepala berat sebelah

Yogyakarta, 1989.

INGAT

Oleh : Margita Widiyatmaka

lebih dan kurangnya manusia pada ingat
sedih dan senangnya manusia pada ingat

tapi ingat!,
seingat-ingatnya manusia yang paling ingat
masih menyelinap sifat lupa
agar ia dapat tertawa

Yogyakarta, 1989.

TERAPI I

Oleh : Margita Widiyatmaka

di dalam rumahku masih ada puisi penyejuk hati
ingin kubawa berlari melampaui batas sepi, atau kunyanyikan hingga
hilang pedih-peri

Yogyakarta, 1989.

SAJAK PENGAKUAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

aku bukan pencuri!
jika ingin cari aku, carilah dalam resahku!
jika ingin catat aku, catatlah dalam diamku!
bukan dalam namaku yang terlanjur dicap "kuciang"!

para pencari mencuri aku, yang dicuri asli milikku!
para pencuri mencari aku, yang dicari pengakuanku!

yang mencari tak 'kan pernah mengakui
yang mencuri tak 'kan pernah merasa memiliki

Yogyakarta, 1989.

HIDUP BERUMAH TANGGA

Oleh : Margita Widiyatmaka

akan ada makan karena bekal
akan ada bekal karena akal
akan ada akal karena makan

akan ada lawan karena lain
akan ada lawan karena lalim
akan ada lawan karena lalai
lawan yang lain itulah lawan-kawin

akan ada kawan karena salam
akan ada kawan karena karim
kawan yang lain itulah kawan-kawin

akan ada betah butuh rumah
akan ada rumah butuh tiang
akan ada tiang butuh siang
akan ada siang butuh malam
akan ada malam butuh rumah
akan ada rumah butuh tabah
akan ada tabah butuh betah

akan lebih betah butuh anak
akan ada anak butuh merangkak
akan ada merangkak butuh kaki dan tangan
akan lebih enak butuh pegangan

Yogyakarta, 1989.

GILA YANG GELI

***Buat : para sarjana

Oleh : Margita Widiyatmaka

gila!
lagi-lagi gagal, lagi-lagi gagal
gela, belum lagi lega

geli, ah!
gelisah lagi-lagi gelisah
gagal yang paling sebal
gela yang paling genit
paling-paling jadi raja di rumah saja

geli, ah!
gundah-gulana para sarjana
lagi-lagi lagu lama, lagi-lagi lagu lama
berdesah lagi lagu ketidakpastian

malu, ah!
genggam gelisah, kibarkan ijasah

Yogyakarta, 1989.

SERBA-SERBI

Oleh : Margita Widiyatmaka

mungkin saja, kemungkinan menjadi tiada
sebab angin pun tak pernah berpesan bahwa kemungkinan harus me-
njadi ada

hai, manusia yang paling ingin!
bersiaplah hadapi kemungkinan yang paling tiada, agar kau tidak
kecewa selamanya!
            ( manusia yang paling ingin, meminta angin membawa angan
               kalau mungkin
               kalau tak mungkin, ia tentu bersumpah-serapah dan ke-
               mungkinan lupa tanah )

paling aman :
          bacalah segala kemungkinan yang paling mungkin di setiap kau-
          bermukim!
          beringinlah!
          beranganlah!
          bersiaplah!
          mulailah, agar yang mungkin mendekat, yang tak munkin me-
          narik jidat!
          dengan kepala dingin dan kepalan tangan
          dengan keringat dan seribu satu harapan

Yogyakarta, 1989.

LOGIKA MAUMU

Oleh : Margita Widiyatmaka

ada rayu ada mau
ada mau ada ragu
ada ragu ada siasat
ada siasat dalam rayu
dalam rayu belum tentu mau!

ada rayu ada beri?
kalau ada, kalau terima, tentu ada mau!
ada beri ada riya?
kalau ada, kalau tahu, tentu ada muak!

Yogyakarta, 1989.

Senin, 18 Juli 2011

SAJAK PINGGIR KALI

Oleh : Margita Widiyatmaka

aku kenal tepi, bukan sekedar sepi
aku kenal tepi, bahkan maling yang sedang nyepi
aku kenal tebing, yang menggeliat saat gawat dan genting
aku kenal bambu, yang ditebang tak mau mati
aku kenal matahari, mata kehidupan sehari-hari

aku pun kenal seorang bekas napi
yang menyadari ketepiannya tak mau dibunuh sepi
menggiring batu dan pasir ke tepi
menciptakan bangunan indah dan asri
pantatnya tak pernah betah ngendon lama di kursi
tangannya pun tak pernah lepas dari sabit, keranjang, dan tali
cuma untuk ekor sapi, ia bunuh sepi
cuma untuk angkat topi, ia pecah batu kali
cuma akan bilang "tetapi", ia enggan, kalau-kalau
dianggap "barangkali"

Yogyakarta, 1987.

MUAK, KAU!

Oleh : Margita Widiyatmaka

Tahu apa kau tentang aku?

duniaku terbentang tak sebatas jidatmu!
semuanya kutentang karena jilat kakimu!

Aku kambing dikebiri yang senantiasa hitam digarisbawahi, dan
tak pernah dibimbing untuk kenal diri

Kalau kau tetap cemburu, menganggap itu pikiran terlalu!,
bau saja ketiakku, baru kau tahu aku bukanlah penghambat
"Golongan Baru"!

Yogyakarta, Desember 1989.

AKU INI ADALAH

Oleh : Margita Widiyatmaka

tidak berlebihan, Kawan!
bila ada yang berjerih-letih akhirnya mendapatkan, akula kewa-
jaran!


tidak berlebihan, Kawan!
bila ada yang putih akhirnya kecipratan, adalah kehidupan!

tidak berlebihan, Kawan!
bila ada yang bermimpi mendapatkan anak macan, akulah keberun-
tungan!

tidak berlebihan, Kawan!
bila anak macan itu ada dalam genggaman hati, akuilah sebagai
kemuliaan yang sejati!

Akulah kawan, akuilah Kawan!

Yogyakarta, Desember 1989.

POLITIK ?

Oleh : Margita Widiyatmaka

Politik, apa itu politik?,
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita saling kritik

Politik, apa itu politik?,
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita salingg lirik

Politik, apa itu politik?,
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita saling intrik

Politik, apa itu politik?,
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita saling jijik

Politik, apa itu politik?,
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita saling klik

Politik, apa itu politik?,
yang baik, tiadakah yang baik?
membuat kita saling bajik

Politik, apa itu politik?
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita saling bisik

Politik, apa itu politik?
menggelitik, kata itu menggelitik
membuat kita lupa titik

Yogyakarta, Desember 1989.

UNTUKMU : LAUT !

Oleh : Margita Widiyatmaka

ada yang ingin kugapai
dalam alunan melodi sungai, gemuruh genderang tak pernah usai

ada yang telah kuhanyutkan
rintih darahku rindu nselatan

di utara,
tangan tak lagi tangan
kaki tak lagi kaki
mata jauh menerawang
aku hilang terngiang

Bendung Karangtalun (Ancol), Juni 1989.

RISDA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Engkaulah magnet kutub utara, yang membuat aku lengket di Kios
Huria

Barangkali yang kupikirkan tak pernah kaurisaukan, dan yang ku-
rasakan tak pernah kauhiraukan

Inilah yang malu kuutarakan, karena tak ingin lagi aku gagal dan kecewa

Yogyakarta, Desember 1989.

LAGU ALAM

Oleh : Margita Widiyatmaka

Laut indah tidak terkata
itulah yang kucinta
gemuruhmu telah cerita
tentang angin dan cahya

Langit merah tidak terbakar
itulah yang kupacar
di senjamu tak ada gusar
slalu ingin  berkabar

 Burung camar tinggi melayang
itulah yang kupandang
di matamu alam terbentang
slalu ingin melanglang

Gunungkidul, Desember 1989.

TIMBANG hati-hat

Oleh : Margita Widiyatmaka

Sejak kali pertama aku sudah menduga, dalam dirimu ada :
          1001 (seribu satu) tangan, 101(seratus satu) kaki, dan
          0002 (dua) kepala

Bagaimana aku bisa mengenal tanganmu yang sejati, kalau salammu
tak di alam?
kepala
Bagaimana aku bisa mengenal kakimu yang sejati, kalau jalanmu
tak di alam?

Bagaimana aku bisa mengenal kepalamu yang sejati?!,
AKU HARUS hati-hati!!

Gunungkidul, Desembewr 1989.

MW

Oleh : Margita Widiyatmaka


Akulah gelombang yang kehilangan pantai
sebatas tebing khayal berandai
berkali terpelanting gagal menggapai
ingin mencari peristarahatan yang landai

Akulah gelombang yang menyia-nyiakan peluh
tak pernah satu dulu dalam tempuh
terburu-buru merengkuh seluruh

Akulah gelombang yang kehilangan bintang
tak pernah senang memandang mega, karena bimbang selalu ada
di sana

Gunungkidul, Desember 1989.

NOTES

Oleh : Margita Widiyatmaka

Sering aku mencatat, dalam diri orang "cacat" terdapat  sesuatu
yang hebat

Sering aku mencatat, dalam diri orang berpangkat terdapat ba-
nyak tipu-muslihat

Sering aku mencatat keadaan orang melarat, untuk beli sepotong
baju saja susah amat

Sering aku mencatat keadaan orang kaya, untuk beli BH saja ke
Kota Singa

Lalu untuk apa aku mencatat, kalau malaikat pun sudah melaku-
kannya?
bukan untuk dengki atau iri
cuma untuk mengerti diri-sendiri

Yang tidak perlu aku catat adalah :
          kalau ada orang "cacat" menjual kelemahannya
          kalau ada orang berpangkat menjual kekuasaannya
          kalau ada orang melarat yang mengaku dirinya calon konglo-
          merat, kalau -kalau nomor angka yang ia impikan tepat  
          kalau ada orang kaya yang tidak berdaya dikepung hak-milik-
          nya

Gunungkidul, Nopember 1989.

         

 

WALA-WALA KUWATA

Oleh : Margita  Widiyatmaka

Kekuatanku pada matahari
kalau tak malam, enggan bersembunyi
kalau tak rela, suarakan hati

Kekuatanku pada bumi
kalau tak kaki, sendu di mata
kalau tak tangan, rindu berdarah

Kekuatanku pada laut
kalau tak perkasa, mudah larut
kalau tak kuasa, sudah itu maut

Kekuatanku pada gelora ketiganya
kalau tak lagu, enggan bersuara
kalau tak tahu, akan bertanya

Kekuatanku dilapis hati
karena kasih-Nya, damaikan bumi

Gunungkidul, Nopember 1989.

BARANGKALI MUNAFIK

Oleh : Margita Widiyatmaka

Orang kita penuh salam, tetapi sering lupa selam
inilah yang menjadikan :
         saudara saling tikam
         tetangga saling hantam
         sahabat saling sikat

Orang kita penuh jabat, tetapi sering lupa jabar
inilah yang menjadikan :
         pertanyaan tidak terjawab
         kenyataan tidak disadari

Orang kita penuh nasi, tetapi sering lupa ilmu padi
inilah yang menjadikan :
         kepala tidak berisi
         tangan tidak berarti
         hati mudah larut dalam emosi

Orang kita penuh gengsi, tetapi sering lupa berprestasi
inilah yang menjadikan :
         mata iri, kalau tak ada kepuasan sang diri
         kaki gatal, kalau tak menjegal kanan-kiri
         tangan mencekik leher kehidupan yang hakiki

Orang kita penuh "memedi", tetapi sering lupa "semedi"
inilah yang menjadikan kita lupa diri

Gunungkidul, Nopember 1989.
        

MELESET

O)leh : Margita Widiyatmaka

Pernah aku mencoba mencari makna hidup dengan bersepi-sepi, dan
bertanya-tanya kepada para pertapa
tapi sia-sia, ia tak kudapatkan di sana

Pernah aku mencoba mencari makna hidup dengan berlari-lari menge-
jar kunang di hutan akasia
tapi sia-sia, kekecewaan yang tersisa

Sekali pernah aku bermalam di kuburan tua bermandikan bintang se-
juta, diapit dua kamboja
akhirnya, sakitlah yang kujumpa

Sleman, Juli 1989.

PRAHARA I

Oleh : Margita Widiyatmaka

Percuma aku punya kamu
yang tenang bermuka batu
yang tak senang melihat aku maju

Kala aku punya salam, senyummu tak di alam
Kala aku punya malam, mataharimu mematai bulan dan bintangku

Kalau semua seperti kamu
dunia ini sudah jadi sampah kutu

Gunungkidul, Oktober 1989

Minggu, 17 Juli 2011

ANTARA AKU DAN SAUDARA TUAKU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ketika mereka  berkaraoke "Sakura-sakura", aku pegang sakuku yang
rata
Ketika mereka jeprat-jepret dengan "Samurai", aku prat-pret ken-
tuti gunung dan ngarai
Ketika mereka pergi mencari dan mencuri ilmu-tehnologi, aku jadi
pertapa yang kehilangan arti
Ketka mereka kembali ke Negeri Sakura, aku sudah dikirimi ma-
inan yang meriah dan meruah

Gunungkidul, Agustus 1989.       

RATAP MALAM

Oleh : Margita Widiyatmaka

Langit cemerlang berganti kusam
bintang dan bulan berbagi temaram
Jiwa meronta, pandang ke atas
jantung berdebar, tergentar panas

Langit kelam kehilangan cinta
sakit alam kehduoan kita
Tengah malam aku pun berdoa
agar terhindar dari petaka

Yogyakarta, Maret 1989

COUNTRY ROAD

Oleh : Margita Widiyatmaka

biar aku pulang
memandang telaga, tergenang air di mata
meluncur jauh, penuh batu di kepala
luruh dalam laut yang satu
dikepung gunung seribu

biar aku tegar
sebagai jati di atas batu
mengajak angin 'tuk layangkan daunnya
memihak matari, ingin lestari biar aku pulang                                                 

biar aku pulang
memandang teja lengkung
ke seberang jadi urung

Yogyakarta, April 1989.

Sabtu, 16 Juli 2011

GERSANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

karena tiada embun di daun, tiada pula kesejukan di ubun-ubun
kepala pusing kekeringan, sedikit diusik uring-uringan

kerana geliat fajar tidak dibangun, terbayang gaun dan kebaya
badan menggigil penuh lamun, tangan usil terjerat bahaya

Yogyakarta, Juli 1989.

JARAK KITA

Oleh : Margita Widiyatmaka

terlalu dekat dikira menjilat
terlalu jauh dikira tak butuh
bisa dekat karena tekad
bisa jauh karena keluh

belum dekat alis, mana bisa menarik jidat?
belum dekat ubun-ubun, mana bisa minta ampun?

Yogyakarta, Juni 1989.

AKU KENAL CINTA

Oleh : Margita Widiyatmaka

aku kenal cinta
dari kentalnya tinta
yang tebalkan buku harian
endapakan penderitaan

Aku kenal cinta
dari api suci Shinta
yang membakar keraguan dan luka Rama

Aku kenal cinta
yang lebih dari Dali pada Gala
yang lebih banyak memberi, tak pilih kepala
yang lebih banyak mengerti dunia segala

Aku kenal cinta
yang lebih banyak diam daripada tertawa
yang lebih banyak tertawa daripada kecewa

Yogyakarta, Mei 1989.

CLEOPATRA, OH, CLEOPATRA

Oleh : Margita Widiyatmaka

seandainya aku tahu manisnya madu karena gula, aku tak mau memi-
numnya
sungguh aku tak angka gadis manis seperti dia, tak sekali ber-
pura-pura jadi teman paling setia
tak tahunya musuh dalam saku celana

seandainya dunia miliknya, apa jadinya?
yang ditipu tak merasa tertipu
yang dirampas tak mersa hatinya lepas

Yogyakarta, April 1989.

SELANGIT

Oleh : Margita Widiyatmaka

tunggu pulung dari langit
ketika pulang jatuh di parit
pegang burung pipit
ketika tegang langsung menjerit,
         "Api, api, kuminta api dalam gigil yang sepi!"
         "Darah, darah, kuminta darah dalam buluku!"


ah, burung pipit, ridumu engkau simpan di mana?
setelah bangkit, paruhmu tak lagi pandang langit
ah, burung pipit, kapan engkau turun dari bukit?,
menjumpai kekasihmu nun jauh di lembah persemaian

Yogyakarta, April 1989.

REBAH

Oleh : Margita Widiyatmaka

segenggam rasa ingin yang hanya karena dingin terbuai angin
selembare kain yang hanya karena ratap tersingkap
desahla, saksi l;aku yang telah!

Yogyakarta, Mei 1989.

NASEHAT KEPADA KUCIANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

pusss ... pusss ... !,
buahkan puisi dari meongmu
    bukan sekedar meong tak ada isi
    bukan sekedar bengong tak dimengerti
bisa gila, bila meong hanya mau serong!
lebih gila, bila meong hanya mau bohong!

pusss ... pusss ... !,
dengarkan puisiku,
    passs-pusss di kamar tamu
    ampas usus di kamar bau
    prasss-presss  di kamar pers
    ampas ngeres di kamar beres
        bila meong tak ada isi
        bila bengong tak dimenegerti
        gila memang tak ada arti

Yogyakarta, April 1989.

LANSKAP

Oleh : Margita Widiyatmaka

di bawah pohon kapuk kapas
ada yang kumohon untuk lepas
dari baju yang terbentuk dari napasmu

di atas pohon kapuk kapas
ada lalu kupu-kupu
mencari batas tak aku tahu

Yogyakarta, Mei 1989.

PERSEPSI

Oleh : Margita Widiyatmaka

di bawah pohon kapuk randu
ada yang kumohon untuk rindu
pada kasur yang terbentuk dari napasmu

di atas pohon kapuk randu
ada batas tak aku tahu
dengan yang maha tinggi, tempat mengadu

Yogyakarta, Mei 1989.

SETIAP KITA ADALAH TITIK

Oleh : Margita Widiyatmaka

setiap kita adalah titik,
yang memetakan lautan abab menjadiu bab-bab

setiap kita adalah titik,
yang berbaris mencari habis dalam merahnya lampu kota

setiap kita adalah titik,
yang berbaik kata membuat tak berkutik

setiap kita adalah titik,
yang berkoma-koma mencari titik-titik

setiap titik, komalah jiwanya
setiap koma, titiklah matinya

Yogyakarta, Mei 1989.

CINTA

Oleh : Margita Widiyatmaka

kutatap mega atap bumi
kuratap dinda di dalam sepi
akankah datang, ataukah hanya dalam mimpi?

kubangun angan atap kerinduan
kulamun dinda siang dan malam
akankah kumiliki, ataukah hanya dalam mimpi?

sering, mata kosong jiwa
di dalam sepi kadang tertawa
sering, kata kosong makna
di dalam laku kadang merana

semantap raga semantap jiwa
aku meronta
aku berdoa
semoga dirimu bahagia
semoga sepiku bercanda

INGAT MULAKATA

Oleh : Margita Widiyatmaka

mulakata Adam dan Hawa, hutan dan margasatwa, lautan dan rawa,
dan ikan segala
akhirkata dunia tercipta, penuh kota dan desa, bangsa dan negara

ingat mulakata,
                       berbeda untuk saling kenal
                       membenci untuk mencinta
                       hidup untuk memberi
                       mati untuk menjadi

ingat mulakata,
                       tak perlu mengulang malapetaka
                       "Cease Fire '89. And no more Hiroshima!"
                       Timur-Barat, Utara-Selatan, Arab=-Israel,
                       Iran-Irak, dan semua gejolak di panggung dunia
                       itu keprihatinan bersama
                       sama-sama satu, sama-sama damai
                      dunia yang satui dan damai itu dambaan di alam ramai

Yogyakarta, April 1989.

BUAT SIAPA?

Oleh : Margita Widiyatmaka



seandainya diijinkan memuji,siapakah yang patut dipuji selain
Tuhan?
            dekat dengan-Nya, kedekatannya memberikan kasih-sayang
            dekat dengan bumi, kedekatannya memberikan pengertian
           dekat dengan bulan, kedekatannya memberikan penerangan
           dekat dengan hati, kedekatannya memberikan mata sejati
           dekat dengan air, kedekatannya memberikan kesabaran
           dekat dengan bunga, kedekatannya memberikan kesempurnaan
           dekat denga matahari, kedekatannya memberikan bara hidup
           yang tak pernah mati

seandainya diijinkan mendekati
seandainya diijinkan memiliki
seandainya diijinkan bertanya
'kan kumiliki jawabnya, sekarang juga!

Yogyakarta, April 1989.

SADAR

Oleh : Margita Widiyatmaka

Oh, langit raksasa memerah, alhamdulillah Tuhan mampir!
setelah sekian warsa aku sakit lemah iman, karena ogah berdzikir
setelah sekian warsa aku sakit parah otak, karena lelah berpikir
setelah sekian warsa aku goyah melangkah, karena janji Dyah Ayu
yang mangkir
setelah sekian warsa aku tak tahu arah, karena tak mampu membuka
pintu sejarah
setelah sekian warsa aku disandera setan, karena kalah melawan

Oh, Tuhan yang mahadahsyat!
baru sekejap Kauperlihatkan mata petir, sumber keluarnya rasa
khawatir, setan kocar-kacir!
alhamdulillah, aku yang hampir kafir, telah kembali segar dan
tegar tanpa ada rasa gusar!
subhanallah .................... !
alhamdulillah .................. !
allahuakbar ...................  !

Kamis, 14 Juli 2011

TANAH KELAHIRAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

tanah kelahiranlah tempat ditancapkan tonggak-tonggak sejarah
tonggak-tonggak sejarahlah yang di pucuknya muncratkan sumsum
dan darah

siapa yang lupakan tanah kelahirannya, akan kehilangan tempat ber-
pijak tonggak-tonggak yang menegakkannya
tanah kelahiranlah tempat kita bercermin dalam luka
tanah kelahiranlah tempat kita menghilang dalam resah
tanah kelahiranlah saksi segala perkara akan diperiksa
tanah kelahiranlah sumber dan sumsum darah kita
tanah kelahiranlah dunia kita yang satu dan damai

bila kita ingat tanah kelahiran,
       "Cease Fire '89!'"
       "Cease Air  '89, no nuclear, and now and next, to be clear!"

Yogyakarta, April 1989.

Rabu, 13 Juli 2011

PETAKAKU?!

Oleh : Margita Widiyatmaka

tangan siapakah yang menjebakku hingga aku mandi darah?
kaki siapakah yang menyepakku hingga aku tetap di bawah?
bumi siapakah ini hingga aku tak bisa kepakkan sayap, tinggikan
langit di atasnya?

Yogyakarta, April 1989.

KESAN

***Buat : Abidah dan Dorothea

Oleh : Margita Widiyatmaka

lidah yang tajam menguak urat darah, lidah siapa kalau bukan
lidah Abidah?
mata yang menyala menembus cakrawala, mata siapa kalau bukan
mata Dorothea?
lidah Abidah pedang sejarah
mata Dorothea lompatan bunga

Abidah naik unta, Dorothea naik Honda
ha-ha-ha-ha ....................................   !

Karangmalang (yogyakarta), April 1989.

KEPASRAHAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ya ... Rabbi!,
akan Kaujadikan apa aku ini?,
                     bertapa di bilik sunyi
                     kadang tertawa, tertawakan diri-sendiri
                     kadang menangis, menagisi tanganku yang tak bisa me=
                     mberi

Ya ... Rabbi!,
bilik bilakah ini?
       bila tenang nantikan petang
       bila mati nantikan malam
       bila hidup nantikan pagi
       bila hadap nantikan siang
       bila harap, nantikan pasti

Ya ... Rabbi!,
tiliklah bilikku, agar aku dapat berjabat tangan dengan-Mu!

Yogyakarta, April 1989.

TEPI KERTAS

Oleh : Margita Widiyatmaka

menusuk-nusuk, lalu membakarnya dengan geram
kobaran sepi jadi hitam

mimpikah aku?,
memasukkan hitamnya ke dalam gels
melihat muka tak lagi jelas

sadarkah aku?,
mengumbar emosi padanya, sama saja tak punya cermin untuk mawas

Yogyakarta, April 1989.

SANG GAYA

:Oleh : Margita Widiyatmaka

yeye, yoyo, maupun yaya
yang kece, yang loyo, yang biasa-biasa saja
barangkali cuma sang gaya

oh yeye, oh yaya, oh yaya
ada yang naik daun, ada yang lupa injak dahan
ada yang tertegun karena tak tahu apa-apa

Yogyakarta. Maret 1989.

SAYA YANG MEMBATU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Mengenang-ngenang masa lalu, tidak tenang malah menggerutu
Menimang-nimang masa kini, tidak senang malah memaki

Percuma!,
masa datang tidak terkaji
lihat Jepang, lebih banyak memuji daripada mengerti
lihat Amerika, "Itu 'kan sang adikuasa!"
lihat Belanda, "Itu 'kan dulu Tuan saya!"
lihat Jerman, "Itu 'kan bangsa Aria!"

Berkali-kali saya singsingkan lengan baju, yang saya rasa cuma
itu!
Berkali-kali saya teriakkan kata maju, yang saya rasa cuma me-
mbatu

Yogyakarta, Maret 1989.

SYARATYANG MAU

Oleh : Margita Widiyatmaka

sesungguhnya
                     bubur yang mau babar
                     lahar yang mau luhur
                     subur yang mau sabar
                     sasar yang mau susur
                                                    busur yang pas
bagi anak=panah yang mau plasss .................... !

Yogyakarta, Maret 1989.

DI KAMAR KECIL

Okeh : Margita Widiyatmaka

Di kamar kecil ada kecoak
tak pernah menggigil kena berak
Di kamar kecil ada ketiak
tak ditutupi kerna berhak
Di kamar kecil ada kecipak
ikan emas mungil sedang berjingkrak

Yogyakarta, Maret 1989.

BULAN SUCI BULAN PUTIH

Oleh : Margita Widiyatmaka

bulan duci bulan putih
tak perlu benci tak perlu berselisih
semua sama dalam letih, shalay yaraih ke tempat yang mereka pi=
lih
semua sama ingin dapatkan nilai lebih
mendekat sedekat-dekatnya kepada Tuhan yang mahakasih

bulan suci bulan putih
ada yang memberi, ada yang menerima
sama-sama menikmayi seribu karunia
tadarus tak kenal putus
mencari nalam paling khusus

bulan suci bulan putih
malam suci malam lebih
saat sahur tak lupa fajar
selepas fajar tak lupa ikhtiar
dalam ikhtiar tak lupa sabar

bulan suci bulan putih
semua sama dalam lindungan Tuhan yang mahabersih
bulan suci bulan putih
yang firman Tuhan harus diimani
yang sabda Nabi harus diikuti
yang kata hati harus menjadi

Yogyakarta, Maret 1989.

DI KAMAR BESAR

Oleh : Margita Widiyatmaka

Di kamar besar ada kethoprak
slalu tersiar kerna kehendak'
Di kamar besar ada ketipak
kuda sembrani kejar bapak
Di kamar besar ada gejolak
kucing ditampar, matanya membelalak

Yogyakarta, Maret 1989.

PUISI PUASA

Oleh : Margita Widiyatmaka

puisi yang lahir bulan puasa
bukan puisi, kalau tak lahir dari jiwa-raga kuasa
tidak berisi, kalau tak kuasa kendalikan hawa-nafsu yang kasma-
ran dosa

dosa, menjadi minuman surga di dunia
seperti secangkir madu yang di bawahnya racun berbisa
tergelincir manisnya dahulu, setealah turun baru merasa

Puisi yang lahir bulan puasa
bukan puisi, kalau tak lahir dari jiwa-raga pasrah
tidak merah tidak jingga
tidak biru tidak putih
tidak pandang bulu terkasih
semua haru dalam limpahan hidup bersih
semua pasrah pada yang mahatakterhingga

puisi yang lahir bulan puasa
bukan puisi, kalau tak kuasa lahirkan manusia baru
seperti bayi, tangisnya bukan sekedar untuk lapar dan dahaga
bahkan puisi bila benar-benar puisi, barisnya bukan sekedar
untuk paparkan mega dan atau mimpi terpaksa

BAH!

Oleh : Margita Widiyatmaka

titi buih
tata bah
nanti buah

titi, timbang!
tata, tambang!
nanti, petang!

petang lintas cepat
malam sambut hangat
pagi, semangat!
siang, menantang!

Yogyakarta, Maret 1989.

DUH, ALLAH!

Oleh : Margita Widiyatmaka

ya ... rabalah raba!
ya ... rasalah rasa!
yang sepi jadilah sapa!
yang sabar jadilah subur!
yang kubur jadilah kabar!
yang tabur jadilah tebar!
yang luhur jadilah lahar!

ya ........................!
hatilah dalam mata!
hiduplah dalam hadap!
hatilah jadi hatta!

Yogyakarta, Maret 1989.

MAAF

Oleh : Margita Widiyatmaka

kalau hendak jatuhkan, tak usah bopong aku
kalau hendak campakkan, tak usah ajak aku
kalau hendak pukul, tak usah belai aku
kalau hendak apa-apa, tak usah pura-pura
kau dan aku sama saja
punya firasat bila diperalat
punya rasa sakit bila dicubit
punya rasa gugat bila digigit

punya salah itu sudah
tak usah diam-diam mendendam dalam desah
bila salah aku, ikhlaskanlah air matamu untuk menghapus dosa-dosa-
ku
bila salah kamu, jiwaku lapang untukmu
lalu, mari kita sama-sama melupakan neraka yang kita lukis dahulu
dengan warna hitam dan merah

Yogyakarta, Pebruari 1989.

ASYIK PUNYA

***Buat : Bung Edi Suhendro

melihat gerak bidak itu kau akan terbahak
berjingkrak-jingkrak, pantatnya meliuk bergerak
membelakangi menteri, tak takut ditindak, karena sering ke rumah
beliau, bersilaturahmi sembari diskusi

seandainya bidak itu kuberi nama Binsar, orang Batak punya, yang
suka blak-blakan kalau bicara, yang suka bersinar tidak hanya
dalam seminar
semua orang Indonesia pasti bilang, "Asyik punya!"

Yogyakarta, Pebruari 1989.

DULU, AKU DAN KAU, DAN ULAMA

Oleh : Margita Widiyatmaka

dulu, aku dan kau
isu susu dancow dan sarimi yang enak
dan ulama jadi punya gerak


Yogyakarta, Pebruari 1989.

ADUH

***Buat : putu wijaya

aduh,
anunya ani aum, aumnya ani anu!

aduh,
aumnya ani aus, ausnya ani anu!

aduh, ausnya ani aib, aibnya ani anu!

aduh,
aibnya ani pada anus!
anusnya anu pada tai!

wah,
aduhnya putu buka pintu!
aduhnya putu buka kartu!

SAJAK PENCARIAN

(permainan kata "cari" ini terinspirasi dari sebuah nama PUNTUNG CM. PUJADI)

cari jalak cari bethet
cari corak corat-coret

cari parang cari pedang
cari-cari cair jadi perang

cari mimpi cari materi
cari-cari cair jadi "ciri"

cari apokat cara sengget
cari cepat cara copet

cari cara paling gampang
cara curi sering dipegang

cari kudung curi segala
cari untung tak berpahala

cari sorak cari corong
cara gertak cara nodong

cari sarung dapat kebaya
cari slubung terjerat bahaya

cari tongkat Charlie Chaplin
cari bakat dari bikin

cari ketupat berlauk sate ayam
cari sehat berpeluk sabda alam

cari capung cari caping
cari-cari terapung-apung, terombang-ambing

cari kakanda puntung cm. pujadi
daripada luntang-lantung tak jadi-jadi

Yogyakarta, Pebruari 1989.

KISAH NEGERI SERURI

Oleh : Margita Widiyatmaka

Kisah nyata di Negeri Seruri
semua anak tengah bermimpi
mengigau tak kenal henti
            jadi seorang priyayi
            berpakaian rapi
            duduk santai sambil minum kopi
            relakan pergi dua atau tiga ekor sapi

Priyayi, oh, priyayi!
gaji seribu sehari
hanyut terbuai kopi
terlunta anak-isteri

Oh, .............., Negeri Seruri
masa depannya terasa ngeri
belum siap hadapi arus globalisasi
yang senantiasa mereka tuntut cuma harga diri berupa materi
hingga terbuka kesempatan korupsi

Kuberharap bangsaku tak semuanya bercita-cita jadi seorang priya-
yi
kuberharap negeriku tak seperti Negeri Seruri!

Yogyakarta,  Maret 1987.

SAJAK BUKAN MAIN-MAIN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bukan main!,
main-main bisa makan
main-main bisa mapan
main-main bisa miskin

Bukan main!,
makan-makan bisa main
mapan-mapan bisa makin
miskin-miskin bisa makan

Bukan main!,
imam-imam bisa main
imam-imam bisa lain
imam-imam bisa aman

Bukan main-main!,
bukan imam saja, juga umum

Bukan main-main!,
dukun-dukun bisa iman

Yogyakarta, Januari 1989.

INGAT MAKAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

makan nasi, ingat sawah
lauk ikan, ingat lautan
sayur asem, ingat tegalan
gigit buah, ingat belakang rumah
lihat rumah, ingat kayu
ingat kayu, ingat hutan
ingat hutan, ingat orang utan
ingat orang utan, ingat kita

entah bagaimana jika kita tinggal punya ingat, tak punya tekad
untuk menyadari? dan kulit, berjalan dilekati lalat selangit
entah bagaimana jika kita ingat saudara-saudara di Ethiopia,
lalu kita tak dapat memberi?
entah bagaimana jika kita sudah tak sungguh ingat hidup dan ma-
tinya tulang-belulang
ke liang kubur dengan rasa teramat sakit

Yogyakarta, Januari 1989

KONSENTRASI

***Buat : putu wijaya

keringat bersakit-sakit
teringat berlangit-langit
langit semerah saga bertiwikrama
bangkit tak menyerah di medan laga

keringat bersakit-sakit
teringat berlangit-langit
langit semerah saga sakti mandraguna
bangkit tak musnah, diam-diam keluarkan mutiara

Yogyakarta, Januari 1989.

BAGIMU AWAL

Oleh : Margtita Widiyatmaka

Tak ada hal yang mustahil
tak ada awal tak ada hasil
tak ada belajar tak ada mahir
tak ada pikir tak tak ada pakar
tak boleh tidak bagimu awal

Padamu awal, kami berjanji
padamu awal, kamiberbakti
padamu awal, kami mengabdi
bagimu awal, jiwa raga kami

Yogyakarta, Januari 1989.

HARAPAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

berilah aku waktu,
menanam benih, tumbuhlah tak layu!

berilah aku waktu,
merasakan cemas, berbuahlah emas!

Yogyakarta, Januari 1989.

TAK TAHU MALU

Oleh : Margita Widiyatmaka

ah, dasar manja!,
hidup di dunia maumu enak, enteng-kepenak, halus kerja

ah, dasar tak pernah sadar!,
lupa akan semangat persaudagaran dan persaudaraan di pasar

ah, dasar tak pernah sabar!, menanti kuih yang lebih bermutu
sebenta-senbentar menjadi benalu dan sumber penghambat untuk
maju

ah, janganlah engkau bayangkan dulu yang enak-enak!
bukankah kasur babut sang raja tidak selalu lebih memulaskan
daripada tikar hamba sahaya?
kepulasan, kepunyaan siapa saja yang puas karena peluh upaya!

Yogyakarta, Desember 1988.

KONFLIK

Oleh : Margita Widiyatmaka

Tidak, tidak!,
aku tidak pernah bermimpi mengejar sesuatu yang tak pasti
aku cuma menggugat kau, hati-nurani!
bah!,
aku telah berikhtiar sekuat-kuatnya saban hari, sabar benar kau-
nanti buahnya!

Pernah, aku berjanji tak 'kan hutang sebelum kreasiku dihargai
sebagai produk dalam negeri dengan jaminan uang!
tapi dasar uang, kadang datang tanpa janji!
lalu uang macam apa yang datang?
kalau cuma uang setan, kau tak mau pegang!
maumu 'kan uang surga, yang bersih tanpa noda, yang dipilih dari
kepingan-kepingan mutiara
tapi, dasar aku!
memanfaatkan peluang tanpa kendali
berani hutang, tak bisa kembali

Pernah, aku menagih janji tak 'kan pulang sebelum mendapat kete-
gasan yang pasti dari do'i
tapi dasar do'i, mudah berubah ikuti situasi, atau dasar aku yang
terlambat mau mengerti?!
lalu do'i macam apa?
kalau do'i-do'ian kau tak mau terus-terusan berdekatan, le-
bih baik pegatan daripada menjadi kura-kura di air pusaran!
maumu 'kan srikandi yang pemberani, panahnya putih melati
menembus jantung hati, terasa abadi!
tapi, dasar aku!,
terlalu berharap sesuatu yang tak pasti
berani kalap, tak tahu diri!

Yogyakarta, Desember 1988.

KETIKA PULANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Kawan,
lewat Temanggung mampirlah Parakan, mumpung laparmu belum mene-
kan!
lewat Magelang mampirlah Secang, bawalah oleh-oleh "garuda Pan-
casila" dari tulang!

Kawan,
lewat TVRI bersiaplah diri!,
dirindukan kota kita yang teramat sayang pada tangan-tangan yang
ahli!
dirindukan kota kita yang diam-diam cemas kehilangan segudang
sebutannya sendiri!
dirindukan kota kita yang rindu pada diam-diam yang mencoba mandi-
ri atasi ruwetnya sendiri!

Yogyakarta, Desember 1988.

LANGIT SEKARANG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Langit sekarang kadang suka permainkan alamat
ia nampak terang, tetapi mendadak hujan lebat
ia nampak gelap, tetapi berakhir hujan keringat

Langit sekarang lain dengan langit dahulu
sedikit meradang mungkin karena sakit paru-paru
oh, langit yang malu menampakkan sesuatu
malunya membuat kita cemas kalau-kalau ada ganggu

Langit dahulu lain dengan langit sekarang
tidak setiap guru bisa siasati langit terang
tidak setiap awak dapat merasakan gerah atas datangnya barokah
dari langit gelap

Yogyakarta, Desember 1988.

KECEMBURUAN SETAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

tangan dicambuk rotan, mana tahan?!
apalagi diiming-imingi ketan, tapi malah diberikan pada kaki
yang diam?!
ia menggebrak meja, lalu meronta menjadi setan sejati!

Yogyakarta, Desember 1988.

SELAMAT TINGGAL, HANNA!

Oleh : Margita Widiyatmaka

kalau kau rela, jangan berikan aku air mata!
cium keningku dengan hangat, agar slalu jiwamu yang kuat!

kalau kau rela, jangan berikan aku seribu kata!
pandang mataku yang menyala, agar perpisahan kita leburkan dosa!

selamat tinggal, Hanna!
jangan berikan aku kesal yang tak berguna!,
berilah aku pena yang tak majal untuk menerobos dunia!

Yogyakarta, Nopember 1988.

MBELING SEBUAH NAMA

Oleh : Margita Widiyatmaka

mbeling sebuah nama, yang lahir menjelang tahun enam lima

mbeling punya ayah bernama Pak Tua
karena ayahnya, ia makan petuah
mbeling punya ibu bernama Bu Tua
karena ibunya, ia makan kebutuhan

mbeling punya adik bernama mbandel
karena usianya, ia lebih berkuasa
segala apa yang paling ia sandang
ia paling banyak makan petuah
ia paling banak makan kebutuhan
ia paling banyak makan jejalan

mbeling punya tetangga bernama masyarakat
ia kadang tak disenangi mereka, karena sering membela mbandrl,
adiknya yang paling ca'em

mbeling punya kawan bernama Pak Poloisi
ke mana saja ia makan, pasti diikuti
jika makannya lebih dari satu porsi, pasti diomeli

mbeling sebuah nama
ia tak pernah terhaopus dalam kamus keluarga priyayi
karena ulahnya, ia makin pusing
karena sulit ehonominya, ia terpaksa makan piring beling

Yogyakarta, Nopember 1988.

Selasa, 12 Juli 2011

KATA-KATA PARA PEMIMPIN KATA

Oleh : Margita Widiyatmaka

yang membuat birunya telinga dan putihnya hati singa
adalah para pemimpin kata
mereka bilang : "Tatap mega atap matahari!"; semua mendongak ke
atas sepanjang hari
mereka bilang : "Kembali membumi!"; semua menyembah-nyembah ke
tanah, tanda berserah diri

tak ada yang tak cinta pada  kata-kata mereka, bahkan laut yang
bergemuruh pun mendengar kesaksian demi kesaksian
            "Aku bersaksi bahwa tak ada kata yang patut disembah sela-
             in kata para pemimpin kata;
             aku  bersaksi bahwa tak ada kata yang patut dilebihkan se-
             lain kata 'partisipasi';
             aku bersaksi bahwa tak ada kata yang patut dibanggakan
             selain kata 'mantan';
             aku bersaksi  bahwa tak ada kata yang patut diperintahkan
             selain kata 'awas'
             aku bersaksi bahwa tak ada kata yang patut ditanamkan
             selain kata 'mandiri'
             dan aku bersaksi bahwa masih ada beribu-ribu  kata dalam
             kamus para pemimpin kata yang patut dikedepankan!"

setiap kata kesaksian bermuara ke laut pembangunan
dan semua merugi, kecuali konsisten dan konsekuen dengan  kata-
kunci

Yogyakarta, Oktober 1988.        

Senin, 11 Juli 2011

SUCIHANNA

Oleh : Margita Widiyatmaka



Sucihanna, perawan ranum tanpa hina
                   kuintip lewat jendela nako
                   aku asyik, astaga nakonya berisik
                   engkaupun bergidik, lalu lari sipat keping terkencing-

                   kencing ke kamar samping, sembari teriak-teriak sete-
                   ngah lupa,
                                    "Tna, Tina, ada hantu di kamar gua!"

Sorry, Hanna, I'm sorry!
barangkali ini frustasi yang bertubi-tubi
aku hantu, kau bukan hantu

Sorry, Hanna, I'm sorry!
barangkali ini frustasi yang bertubi-tubi
barangkali esok tak 'kan begini kalu aku dekap nuansa puisi

Sorry, Hanna!
Sorry, Mama!
Sorry, Papa!
sungguh aku ada dalam mulut buaya yang belum dibungkamkan
sungguh aku ada dalam syukur alhamdulillah, "Kau tetap suci, Hanna!"

Gunungkidul, April 1988.

MELUKIS FOKUS

*** Buat : linkungan hidup sedunia

Oleh : Margita Widiyatmaka

Apa yang sempat aku lukis hari ini?

Sayang, yang sempat aku lukis cuma kakus dan keranjang sampah
terbesar tersebar di kota-kota!,
          lampu kuning tenggelam ke merah
          kelambu  nining di tepi pagi memerah
          pisang kuning asah paruhkaleng
          yang kuning, nyamuk mengamuk mandi darah
          yang bening kerancu keruh
          bungkus plastik bungkus ikan
          kaleng susu, seng, tisu, kertas, segala bekas
          di sungai tak lagi di sungai
          kita tak mungkin berenang, apalagi bilas
kanvas kita, endapan nafas kota!

Sayang, yang sempat  aku lukis cuma kurusnya sapi karena lapar,
langit terbakar, dan pepohonan tak lagi nunya akar yang besar,
sungai tak lagi tempat suka, telaga tak lagi tumpahan dahaga!
kanvas kita, endapan nafas desa!



dalam lukisan,
                       di sela-sela cerahnya mega, burung-burung murung
                       mawasbawah, sambil mendesah :
                        "Mana mungkin kita betah di sana?!"


hampir di segala mana, kanvas kita bersitkan kata :
           sungai tak lagi su ngai
           telaga tak lagi telaga
           burung tak lagi kekasih kita
           segala tak lagi segala

Yogyakarta, Juni 1988.

BASA-BASI

Oleh : Margita Widiyatmaka

orang kita sering lebih dalam berkata
ada-ada saja kelebihan saat mulut membuka
membelah telinga, lalu diam-diam menggigit mata
biasanya kita suka bilang "kula nuwun", "matur nuwun", "nuwun
sewu", "mangga", "punten dalem sewu", "nggih"
yang sering membuat kita letih

letih kita sering ada dalam tatacara, upacara-upacara yang berbunga kata
jarang menjadikan rakhmat dan karunia dari keringat kita

hati-hati!,
sungguhpun itu bumbu bahasa yang sudah menjadi "made in ani"
selembut apapun, rasa jeli perlu kita himpun

Yogyakarta, Nopember 1988.

Jumat, 08 Juli 2011

SAJAK AKRONIM

Oleh : Margita Widiyatmaka

dibilang "mbeling", kerna mbandel tujuh keliling
dibilang "mbelang", kerna mbelot tak mau pulang
dibilang "mbuas", kerna mburu tanpa batas

orang mbeling kerna luka, ragu berkata dalam doa
jika ia "jengkang-jengking", hatinya kering tanpa lega

orang mbeling kerna suka, asyik ber-"apa saja" dalam waktu
jika ia main gundu, seharian tak merasa berpeluh
baru jera kalau kejatuhan kelapa sepuh

orang mbelang kerna luka, berbagi luka dalam laku
jika lakunya parah, lakunya tak pernah kalah

orang mbelang kerna suka, tak ingat lagi surga dan neraka
jika ia punya surga, surganya di bawah telapak kaki kuda

orang mbelang kerna terpaksa, takut bercumbu dalam dosa
sebentar saja ia bercumbu, menahan  panas dalam napas

orang mbuas kerna lapar itu wajar, jangan biarkan ia lapar!
orang mbuas kerna nafsu itu asu, jangan biarkan lukanya tetap
luka!
orang mbuas kerna kebiasaan, suka merampas hak-milik tetangga
maupun anak-cucunya!

Yogyakarta, Nopember 1988.

BATU

Oleh : Margita Widiyatmaka

batu, jangan kaubilang "bathuk", jika kaupukul tak ngamuk!
batu, jangan kaubilang "batur", jika kaubanting tak hancur!
batu, jangan kaubilang "bata", jika kaubanting tak patah!
batu, batin saja "batu"!
candi kita begitu kuat karenanya!

Borobudur, Nopember 1988.

Kamis, 07 Juli 2011

PROSES

Oleh : Margita Widiyatmaka

bara, arang, dan abu
ibarat pengorbanan seorang ibu
slalu merah sebelum mengabu
ah, betapa merahnya orok lewat kelangkang!
tetesan merahnya mengalir ke tanah juang, sarang anak-anak jabang!

sayang, merah anak-anak yang asli luntur kerna gesekan besi!
balas budi mereka : geser posisi ibu ke babu!
oh, layakkah sorang ibu ngelus anaknya dengan asih dan ASI-
nya, dibalas dengan busa super basi?!

sayang, kalau anak tak sayang ibu!
                                                  tak sayang ibu!
                                                                    tak sayang ibu!
hanya kepada ayah melepas kasih, minta upah dan petuah

ah, betapa ruginya punya ibu yang tak rela mengabu!,
                               punya ayah yang tak mau kalah!,
                               punya anak yang tak merah!

Yogyakarta, Nopember 1988.

LUCIA DEVITA WENNY

Oleh : Margita Witdiyatmaka

Lucia Devita Wenny, lu terlalu yakin pada delima bibir lu, dan
biru mata lu!,
apalagi hidung lu mancung, kulit lu kuning langsat, tanpa cacat

Lucia Devita Wenny, lu kira derita dekati lu tak berani,
ia tak pernah pilih bulu, tak terkecuali wanita ayu seperti lu!

Lucia Devita Wenny, lu siasati saja derit-derit pertanda yang i-
ngin lukai lu dengan laku seperti Marini : tak manjakan di-
ri, mental baja lunakkan duri

Lucia Devita Wenny,
hanya karena ingin, lu lupa!
hanya karena licin, lu luka!

Lucia, ah, Lucia ... !
berjalanlah sedemikian rupa sehingga
                                                              yang ingin,
                                             parutkan saja daging kelapa!
                                                               yang licin,
                                                          kerok saja lumutnya!

Yogyakarta, November 1988.