Minggu, 28 Agustus 2011

PLING-PLANG-PLING-PLUNG ORANG KAMPUNG

Oleh : Margita Widiyatmaka

pling-plang-pling-plung
pelangi jingga di langit mendung
jiwa tertawa dengar senandung
senandung hilang aku berkabung
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung


pling-plang-pling-plung
Si Dul Wonosari pulang kampung
naik besi, besi capung
naik taksi dari bandara, tujuan kampung
tak bisa ditawar, bayarannya berjibun
semangat kasih-sayang, minta ampun
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung

pling-plang-pling-plung
selamat datang selamat bergabung
kerabat datang teringat kampung
semangat kasih-sayang rekat terhubung
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung

pling-plang-pling-plung
dari jauh menuju gunung
kesah-keluh sudah terpasung
gerah peluh sudah terlarung
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung


pling-plang-pling-plung
dari gunung menuju lembah
setelah orang tua sungkem simbah
dada membusung kini terbelah
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung


pling-plang-pling-plung
kejar tayang kejar untung
paling sayang paling beruntung
kurang sayang akhirnya "nggantung"
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cintaku tak 'kan terbendung

pling-plang-pling-plung
duduk tenang jiwa merenung
ikhlas-pasrah tak 'kan "nggantung"
hati "kimpling" raga terdukung
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung


pling-plang-pling-plung
banyak luang jangan cuma bingung
banyak peluang kita cari untung
dunia terpegang -- akherat terjunjung
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung

pling-plang-pling-plung
yuk kita gelar yuk kita gulung
kiamat datang kita terhuyung
dosa apa saja yuk kita hitung
mencari cinta tak ada ujung
pada Tuhan Yang Maha Agung, cinta tak 'kan terbendung

Gunungkidul, 28 Agustus 2011.


Kamis, 25 Agustus 2011

NYANYIAN POHON RINDU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Kerinduan adalah kejujuran yang tak akan luntur oleh arus zaman
ia, nyanyian sebelum tidur di saat kesepian
ia, pernyataan cinta yang terkubur dan lebur dalam getar sukma

Mereka yang tak beria, ibarat laut tak berperahu
sedang perjalanan, takut untuk dialami
sedang maut, takut untuk dinanti
Kerinduan adalah bara hidup yang tak pernah padam, bahkan dalam
kelelahan ia masih kelihatan merahnya

Gunungkidul, Mei 1990.

Selasa, 23 Agustus 2011

MEGA-MEGA ASA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ada saatnya kita diam mengenal kelemahan
bukan untuk tenggelam didalam kekalahan
Ada saatnya kita diam menyusun kekuatan
bukan untuk tenggelam didalam ketakutan

Ada saatnya
saatnya nanti akan tiba
kita tidak mungkin lagi disiksa dan tersiksa dalam tembok birokrasi
kita tidak mungkin lagi diatasi dengan doa dan basa-basi
kita tidak mungkin lagi dininabobokan dengan cerita bintang,
bulan, dan keindahan wana pelangi
sebab semua butuh keterbukaan dan kepercayaan untuk saling mengisi
sebab semua butuh kenyataan, bukan ilusi

Ada saatnya
saatnya nanti akan tiba
kita tidak mungkin lagi dinilai atas dasar kalah dan menang,
senang dan tidak senang
sebab kita sama-sama terbang, membelah langit yang kita pandang

Gunungkdul, Agustus 1990.

Senin, 22 Agustus 2011

KEKUATAN DAN KELEMAHAN KITA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Sabar dan syukur : kekuatan kita untuk terhindar dari kufur
kufur terhadap nikmat Allah Yang Maha Luhur dan Berlimpah
kufur yang berakhir kafir
yang sabar tidak subur, jadi sabur
yang syukur jadi sukar, rasa terimaksih tak pernah terujar
kepada Tuhan senantiasa ingkar

Kabar-kabur : kelemahan kita yang terumbar lewat lidah lentur
yang tersiar : aib orang berdosa
jadi ludah kita, lama-lama kita jadi orang lebih berdosa
yang luhur jadi lahar tak berkah

Kekuatan kita untuk diam, bukan berarti biarkan orang berbuat dosa
kekuatan kita untuk berkata, bukan berarti mengumbar kata tanpa makna

Kekuatan kita : sabar dan syukur tanpa kabar-kabur
berlaku sabar, bersyukur kepada Tuhan tanpa langgar aturan
bertutur tanpa takabur maupun rendahkan sesama
kerja-usaha tak kenal susah
apapun yang terjadi kita pasrah

Gunungkidul, 22 Agustus 2011

Senin, 15 Agustus 2011

MENCARI TUHAN DI KALI SUCI

Oleh : Margita Widiyatmaka

mencari Tuhan di celah bebatuan
susuri sungai semakin dalam
terpukau indah lukisan alam
terhalau bimbang terbentang harapan
mimpi-mimpiku terbayar kenyataan

mencari Tuhan di celah bebatuan
terpelanting aku dari ban putaran
terbanting aku di arus kesulitan
mencari selamat butuh kesabaran
hindari benturan dari batu kars
mencari bantuan bila diperlukan
memanjat tebing tidak butuh gagah
kuat kaki dan cengkeraman tangan
kuat 'nungging, pegangan tidak runtuh-patah
rasa syukurku di atas batu gajah
di hadapan-Mu aku runduk pasrah

mencari Tuhan di celah bebatuan
gemuruh air luruhkan keangkuhan
tersungkur aku di air terjun Gelung Ilahi
tusukan air di seluruh tubuhku sembuhkan mangkir dari sisi-Mu,
tumbuhkan syair dari akbar-Mu

mencari Tuhan di celah bebatuan
tertegun aku dibuat-Nya, melukis dinding batu tidak butuh galah garpu
mewarnai alam air terjun Gelung Ilahi ciptakan busur pelangi
dengan cerah mentari
hangat didekap-Mu, ingat siapa aku
lekat dilatar-Mu, ingat asalku, untuk apa dan bagaimana aku hidup 
taubat istighfar kepada-Mu, ingat kemana setelah aku redup

Kali Suci (Cave Tubing), Semanu, Gunungkidul, 31 Juli 2011



Rabu, 10 Agustus 2011

YANG GAYA DAN PALING GAYA

Oleh : Margita Widiyatmaka

yang gaya itu laki-laki
yang paling gaya itu perjaka
mejeng-mejeng di atas loteng
menenteng-nenteng gitar lobang
dipetik-petik, digenjreng-genjreng
mengemis pandang

horeee!
apalagi kalau bukan pandang perempuan,
atau lebih-lebih perawan
selagi belum ada pandang,
lubang dipegang-pegang
dawai didenting-dentingkan
sekali-sekali dihentakkanlah cengkeramannya pada fret nada
teriak-teriak lengking lejit
panggil-panggil Camelia-Ebit.

Yogyakarta, Mei 1988.

Selasa, 09 Agustus 2011

DONGENG SERIBU SATU MALAM

Oleh : Margita Widiyatmaka

Saudaraku memang air mata
sudah dibantu sedemikian rupa sehingga, rupa-rupanya masih me-
nggantungkan kemurahan Sang Bapa, yang kaya kue--kuenya habis
dibagi rata, yang kaya kasih--kasihnya tersimpan dalam doa

Saudaraku bernama Luh Juwita
kebebasannya terbatas pada kaca, dan usia mudanya dirampas oleh
rasa terpaksa

Saudaraku Luh Juwita
waktu aku masih kecil sering mendongeng tentang seorang pemuda
dusun, pencari kayu bakar, yang dapat menyelamatkan seorang Puteri
Raja--pelarian dari Negeri Daha yang sedang dilanda kudeta
dalam dongeng itu, akhirnya keduanya berikrar untuk hidup tegar
seakar-sejiwa di tengah api yang sedang berkobar

Saudaraku Luh Juwita
air matanya yang ungu masih tersisa di langit  biru
menjadikan aku haru mengenangmu

Yogyakarta, Maret 1991.

BUKA LANGIT

Oleh : Margita Widiyatmaka

Bismillah
kalutku dibuang ke laut
buluku dipecut-pecut, berani hadapi maut

Bismillah
senja lukis titik, malam lukis garis
sepi simpan garis

Bismillah
kukomat-kamit di kaki bukit
melihat ke atas, banyak dhemit!
melihat ke bawah, aduh amit-amit!

Yogyakarta, Maret 1988.

SUARA KAU

Oleh : Margita Widiyatmaka

crik crik crik
kau campakkan otak semrawutku
kau cabuti bulu takutku
kau tumbuhi hati suci keyakinan
kau resapi alami sunyi dalam dalam

crik crik crik
getarkan hidung telingaku
diamkan mulut beribu setan menganga
lampirkan surat kaum melarat
sampirkan hasrat di bumi berkarat nanti

crik crik crik
cengkerik berkepanjangan
rinduku padamu tak tertahan
berjuta setan pendengarannya pecah
korban revolusi zaman tak beraturan
berjuta setan moncongnya divitalkan
membunyikan terompet-terompet kebisingan
berkepanjangan

* Yogyakarta 27 Sya'ban 1400 H atau 10 Juli 1980, dikutip dari "QUBAH" , sebuah antologi  puisi, Hal. 15, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Muslim Study Group (MSG) Yogyakarta

Minggu, 07 Agustus 2011

LUPA LAUT

Oleh : Margita Widiyatmaka

sebut laut lupa sabet
jabat laut lupa jabar
sambut laut lupa sambar
lambat laun lupa alun

salam laut lupa selam
sangat takut ada siluman

lihat laut lupa libat
geliat laut lupa digelut
labuh laut lupa lebih
penuh laut lupa diraih

karang laut didendang "oh, la-la"
seberang laut lupa segala

Yogyakarta, Maret 1989.

Kamis, 04 Agustus 2011

AKU TAK TAHU

Oleh : Margita Widiyatmaka

tanda adanya isu, langit biru terkelupas kuku
tanda adanya susu, puting memerah muka tersipu
tanda adanya sapi, sapa mendesah dari tumpukan jerami
tanda adanya lemak babi, ba ba bu bu bi bi baru dalam syak-prasangka

lalu dari mana datangnya isu susu sapi lemak babi??
dari gerutu terbing, ataukah desir kencing?
astaga, langit biru jadi kelabu sementara waktu!

Yogyakarta, Januari 1989.

SAJAK NUSANTARA

Oleh : Margita Widiyatmaka

Dengar denyarnya
dengar siarnya
sajak Nusantara bergema
di angkasa biru kerudung mori
tatakala suara air bernyanyi, dan mengalir seni
tatkala kaulihat nyiur lambai-melambai gemulai, dan masih kau-
dengar denyarnya

Selepas pandangan pertama
yang tiada mungkin dihindarkan
matamu rindu, mataku jua
maju selangkah
kucium sejengkal tanah antarsawah
kucium setetes air antarpulau
kucium segalanya demi kasih

*Gunungkidul, 1977, puisi ini merupakan salah satu pemenang Lomba HUT Kedaulatan Rakyat (Majalah Gatotkaca) di Yogyakarta..

Rabu, 03 Agustus 2011

MENUNGGU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Menunggu .... menunggu ... !
hingga hilang akar kesabaranku
yang ditunggu laut tak berperahu
yang ditunggu gunung tak berair-kayu
yang ditunggu lembah tak bermata air
yang ditunggu angin tak bermata arah
yang ditunggu duri tak ber-an

Sudah saatnya aku menyerang
turun dari gunung untuk bertandang
apalagi yang aku tunggu?!
keteraturan tak bisa lagi diharapkan kepastiannnya
perubahan tak mudah lagi diterka arahnya
apalagi yang aku tunggu?!
bila mendung tak juga jadi hujan
bila keluh tak juga jadi peluh
apalagi yang aku tunggu?!

Menunggu ... menunggu ... !
hingga hilang akar kesabaranku
bila aku ingin hanya angan-angan saja
bila aku ingin hanya rasan-rasan saja

Menunggu ... menunggu ...!
hingga hilang akar kesabaranku
bila aku ingin hanya main-main saja
bila aku ingin hanya lain-lain saja
bila aku  yakin hanya kata-kata saja


Menunggu ... menunggu ... !
apalah artinya menunggu kalau gunung seribu tetap termenung
meratapi nasibku?
apalah artinya menunggu kalau laut yang bergelora belum juga
aku dapatkan sebentuk cintanya?
apalah artinya menunggu kalau hanya saling ganggu?
apalah artinya menunggu kalau hanya saling gerutu?
apalah artinya menunggu kalau hanya saling cemburu?

Sudah saatnya aku menyerang!
untuk melunasi hutangku kepada keadaan
untuk mendapatkam duniaku dalam kebahagiaan
untuk mengembalikan air mataku yang hilang percuma!

Yogyakarta, Nopember 1990.