Jumat, 24 Juni 2011

SI KEMIN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Kemin seorang pemuda kalem yang berjiwa serem
Kemin, rupanya punya potensi ngelmu hitem
yang bikin para puteri melek-merem
yang bikin para suami marah, kehilangan isteri

Kenapa, kenapa Si Kemin jadi begini?
Kenapa, kenapa Si Kemin jadi "play-boy"?
'play-boy" yang tak tahu diri
telah menodai para puteri dan 'bini'

Tuhan kuasa atas perilakunya
Kemin terkena malapetaka, tersiksa di tengah hutan-belantara
digerogoti tubuhnya oleh Raja Singa dan kawan-kawannya

Yogyakarta, Maret 1987.

CAHAYA ITU

Oleh : Margita Widiyatmaka

Ia terintip dari celah jendela nako
lalu laju, lalu sirna

setiap kusyukuri senja, ia kembali
bertengger di dahan jambu air yang mengalur
ke pntu kediamanku yang waswas

Yogyakarta, Maret 1988.

MENCARI JENG

Oleh : Margita Widiyatmaka

Jeng, mestinya aku tahu cara rayu kau yang adhem-ayem-anteng
tanpa grumeneng
Jeng, mestinya aku tak tega kau dipermainkan mereka yang me-
mandangmu sebagai boneka

Jeng, aku pun tak hendak menakutkanmu, mematut-matut diri me-
nyanding kalut
hanya kecintaan ditandai isyarat
hanya kepastian ditantang harap

Jeng, hanya kecintaan dikenai syarat :
         dua senyum tersimpul baja
         saling tutupi lubang rahasia
         minta pakai tak memaksa
        asap dapur slalu mengepul
        ada gubug papan berkumpul

Andaikan kepastian itu bertemu harap, dan yang mahaunggul ber-
kehendak, calon manusia baru bakal tampak
aha ...k!

Yogyakarta, Maret 1988.

ANGAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

andaikan aku bersayap seperti merpati,
          pasti sudah kurayap buana jembatan akherat
          pasti sudah terbuang segenap rasa melarat
            (melarat rohani, materi, aksi, atau kreasi)
ketika aku terbang mawas samudra, dan aku jerat yang aku punya
dengan cakar-cakar kekar

Yogyakarta, Maret 1988.

DISKO LARON

Oleh : Margita Widiyatmaka

ruah hujan semalam menohok bumi, menguak gejolak laron-laron
berdisko lampu balon
ada yang di udara
ada yang di pyan
ada yang di tembok
ada yang kalai di lantai
ada yang merengek, mengharap hangatnya putih sorot
ada yang terlena disergap cicak-cicak
ada yang main pencak
di kolam baskom akhirnya tercampak
lalu, ana-anak dan ibu-ibu pinggiran siap menjadikan mereka
rempeyek yang enak

Yogyakarta,  Maret 1988.

ISTIRAHAT

Oleh : Margita Widiyatmaka

tubuhku lepas dari cengkeraman panas, ketika mentari tertidur
kakiku lepas dari jeratan tali persoalan, ketika jangkrik me-
nyanyi dalam kesenyapan

wahai, derap lembut di kolong langit!
bukakan pintu, lemparkan aku ke ranjang yang kedinginan dan
rindu pada kecut tubuhku!
selimuti matiku satu malam dengan nur langit sapitu!

Yogyakarta, Maret 1988.

RUMAH BESAR

Oleh : Margita Widiyatmaka

di dalam aku kecil, di luar aku besar
lebih baik aku tak bersanding-sanding latar
             apalagi masukl ke dalam
lebih baik aku ikuti mega lebar
               selagi masih tegar

sekali-sekali boleh saja di dalam, kitari
     kebun bertembok mubeng, sembari
        mencari mangga mateng
sekali-sekali-sekali boleh saja kecil
lebih dari sekali-sekali aku tak punya apa-apa
                       kecuali rumah besar

Gunungkidul, Maret 1988.

SEBUAH PERTANYAAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

semilir angin
mengalir dingin
mengaparkan raga
menyerakkan suara sukma

yang menyapa langit itu gemerisik daun
tertiup angin, ataukah Ganesha?

Hargo Dumilah, 1982.

NYANYI DAMAI PARA PAHLAWAN

*Buat : ribuan pemuda, korban pasukan Belanda di sebuah jembatan di atas Kali Progo, di desa Kranggan
Oleh : Margita Widiyatmaka

hembus angin malam, damai alir alur kali
tubuh-tubuh keringat darah wangi
kutemui wajah-wajah tak pucat, tidur nikmat berbantal semangat

hembus angin malam, damai alir alur kali
telusuri pekarangan-pekarangan
rasuki dinding-dinding rumah bambu
rona merah-putih terselip di wajah-wajah

hembus angin malam, damai alir alur kali
dan sungguh-sungguh pulang damai malam ini
harum tanpa upacara doa-doa dan tabur bunga
lega tanpa ganjal "gelu"

Yogyakarta, 1982

Rabu, 22 Juni 2011

PENGAKUAN

Oleh : Margita Widiyatmaka

Semalam aku lupa pada Tuhan
bermimpi merobek baju Arimbi
memintanya jadi unta, sementara aku penumpangnya
mendaki gunung, menelusuri lembah
 "Hah, sumur tua!", aku terperangah nyaris terperosok
lalu aku mencoba bersikap hati-hati dan tenang
Dengan ancang-ancang kucoba berlari kembali ke gunung,
lalu keseleo
perut-dada kembang-kempis
ruah darah celaka lumuri kaki rekah
terselip di bantal, kutoleh pejal

Yogyakarta, April 1981