Jakarta lupa nama kelahirannya
pohon-pohon buah berubah jadi tiang-tiang beton
rawa-rawa, sawah dan sungai berubah
jadi rumah tinggal menjuntai
air langit kebingungan mencari jalan
pulang menuju bumi maupun laut
para penyair kehilangan kota yang
mereka khayalkan sebagai kota zamrud
Tak perlu cemberut mengapa air tak
lekas surut
bahkan menenggelamkan semua milikmu
yang dulu kaurebut
atau berkata apatis :
“namanya air, toh nanti juga surut!”
atau berkicau :
“cuaca kacau!”
Diamlah kau, yang bicara karena kepentinganmu!
tak pernah engkau tara
dan keserakahanmu lebih dari yang
engkau kira
hutan tak dapat kaucetak
hujan tak dapat kautolak
bersama air gunung dan laut
menenggelamkanmu lebih dari selutut
wajahmu compang-camping jadi tak
patut
Kita tiup peluit
peringatan cinta atas negeri yang
sakit
dari pusat kota sampai ke Pluit,
Jakarta Utara
jiwa kita menangis tak berdaya
Kondisi langit semakin mendung
anak-anak bermain air tanpa rasa
khawatir
tenggelam terseret banjir atau
disambar petir
orang-orang tua takut kehilangan
hartanya
bertahan di rumah tergenang ditengah
dinginnya kota
akankah terus bergini dari tahun ke
tahun, dari waktu ke waktu?
harta dihimpun dan akhirnya dibuang
ke situ
tak pernah ingat anak-cucu, atau
menjadi sesuatu!
Yogyakarta, Januari 2013.